Selasa, 11 November 2008

Perang Para Bangsawan Minyak

Perang Para Bangsawan Minyak

Bersamaan dengan letusan seharga jutaan dollar Perang Irak, sejumlah korban penting berjatuhan. Hal pertama yang menjadi korban dan hilang bersama asap adalah demokrasi. Seperti yang sudah diketahui bersama, metode dari perang ini adalah menciptakan kejutan dan teror bagi musuh. Akan tetapi, sebuah proses keruntuhan sebuah sistem kemasyarakatan demokratis, luput dari pengelihatan orang banyak. Keruntuhan dari sebuah sistem pemerintahan yang menggunakan perdebatan verbal dalam parlemen dwi-kameral dan persekutuan dwi partai ini telah terjadi sejak satu dekade terakhir ini. Sebagai penggantinya, digunakanlah metode analisa kritis oleh sekelompok orang yang metodenya mirip dengan metode kedokteran dalam memeriksa pasien, jajak pendapat menjadi cerminan suhu dan kondisi masyarakat, acara televisi yang memungkinkan pemirsa ikut serta dalam program 'interaktif' dimana para pemirsa dapat memberikan pendapat dengan menggunakan tombol telepon merupakan sebuah ilusi mengenai parlemen.

Media, yang bersama-sama dengan sistem finansial dan komoditi telah membentuk suatu kekuatan absolut -sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan terdahulu-, dalam perang ini telah berperan sebagai penyampai pesan bagi kelompok komoditi-militer. Sebagaimana telah diberitakan, media telah 'disisipkan (embedded)' ke dalam struktur komando militer. Dimana mereka dapat menembus terpaan debu dan panasnya peperangan guna menghadirkan permasalahan di balik medan pertempuran dengan menggunakan sambungan video jarak jauh yang disiarkan secara langsung.

Dengan menyatakan bahwa demokrasi merupakan korban pertama dari Perang Irak ini maka kita dapat melihat keruntuhan sebuah sistem terstruktur yang telah menjadi pondasi dari berbagai kejadian dunia sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, keruntuhan ini dapat pula dipadankan dengan keruntuhan Menara Kembar di Manhattan, New York. Seorang penulis besar Italia bernama Curzio Malaparte pernah berkata:

"Perang adalah Takdir. Ia tidak dapat digambarkan dengan cara lain. Perang tidak dapat diposisikan sebagai 'tokoh protagonis (baik-baik)' yang pasif, sebagaimana kita dapat mengatakan bahwa medan pertempuran adalah 'tokoh baik' yang pasif. Kondisi dalam peperangan ini digambarkan dengan sangat baik oleh sebuah istilah Jerman, 'Kaputt' - yang arti harfiahnya adalah 'patah, habis, hancur berkeping-keping, hancur berantakan' - secara nyata itulah keadaan yang kita alami, tidak lebih dari setumpuk reruntuhan"

Ketika landasan moral yang menjadi dasar dari demokrasi hilang, maka terlihatlah wujud sebenarnya, bahwa di balik otoritas moral yang dibungkus oleh retorika politik 'pemerintahan oleh, dari dan untuk rakyat' tersembunyi sebuah mesin statistik yang mengatur sistem perpajakan masal. Jutaan korban yang telah tewas agar 'demokrasi bisa tetap hidup' tidak diakui sebagai korban pemaksaan dari demokrasi itu sendiri. Penolakan untuk membagi tapal batas Rwanda berdasarkan pemisahan etnis Tuse dan Hutu telah menghasilkan bencana besar. Di balik keputusan ini tersembunyi kepentingan perbankan yang khawatir jika pengaturan tapal batas didasari oleh pemisahan etnis, maka mereka tidak dapat lagi menagih hutang para penduduk berdasarkan hukum yang ada. Ketika Yugoslavia - negara sinkretis, hasil bentukan Amerika Serikat - runtuh dan terbagi-bagi menjadi beberapa negara, pihak bank secara terbuka menuntut agar negara baru yang ada, baik itu Bosnia dan sebagainya, harus tetap bertanggung jawab secara penuh atas total hutang yang dimiliki oleh Yugoslavia, dengan kata lain, setiap negara pecahan Yugoslavia itu menanggung jumlah total hutang yang sama, bukan pembagian dari jumlah total hutang yang ada. Demokrasi tidak lebih dari sebuah industri jasa dari perbankan kapitalis.

Kita telah tiba pada akhir dari sebuah era. Sebuah era yang telah digiring menuju liang kubur oleh para pemimpinnya, yang telah memutuskan untuk muncul ke permukaan dan mengambil alih kepemimpinan setelah sekian lama mereka bersembunyi dan memerintah di balik layar. Jika kita melihat secara dalam, yang berperang melawan Irak bukanlah kekuatan Amerika Serikat beserta boneka pendampingnya, Inggris. Melainkan, pada kenyataannya, ini merupakan awal dari perang yang menentukan, dimana kekuatan elit finansial dan kekuatan elit industri-militer-komoditi, berusaha untuk menyatukan kedua kekuatan yang berbeda ini menjadi satu kekuatan global. Perlu diingat bahwa Presiden Amerika saat ini mewakili kepentingan uni lateral dan isolasi Partai Republik, yang berlangsung hingga peristiwa hancurnya dua gedung pencakar langit. Setelah kejadian tersebut, sang presiden dipaksa tampil mewakili kepentingan multilateral dan menyeret Amerika Serikat ke panggung dunia internasional sebagai salah satu pemimpin global. Ini hanya dapat dicapai dengan menghancurkan kerangka politik yang ada, dan bersembunyi di balik apa yang disebut-sebut sebagai konsensus dari negara-negara dunia. Hanya delegasi Afrika Selatan, dalam dokumen yang disampaikan kepada Dewan Keamanan untuk kemudian disebarkan kepada para diplomat lain, yang secara intelek dapat melihat semua kondisi ini. Kekuatan gabungan Amerika Serikat - Israel telah menodai PBB. Sebagaimana telah disampaikan oleh seorang mantan mentri luar negeri di hadapan Parlemen Inggris, "Bagaimana bisa Amerika Serikat menyatakan bahwa kesabarannya sudah habis melihat pembangkangan Irak terhadap Resolusi PBB selama 12 tahun, sementara itu di sisi lain, Amerika membiarkan Israel yang telah membangkang terhadap PBB selama 30 tahun?". Lebih sinis lagi kita dapat melihat, di satu sisi Irak dikhawatirkan memiliki kemampuan nuklir, sementara sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Israel memiliki senjata nuklir dalam jumlah yang luar biasa banyaknya dan menolak pengawas untuk masuk ke negaranya.

Sekali lagi, sangat penting untuk menelaah Hukum Internasional secara dalam, tidak hanya melihatnya dari sisi kegagalan dan penerapannya. Kondisi sebenarnya adalah, bahwa Hukum Internasional tidak pernah dibakukan secara serius dan disetujui melalui kesepakatan protokoler yang berlaku. Satu pertanyaan awal, pada saat seperti apakah Hukum Internasional dapat diberlakukan? Kemudian, pada kondisi seperti apakah perjanjian-perjanjian dan deklarasi-deklarasi memiliki status hukum yang sah dan mengikat? Sebuah contoh tragis dan lucu, pernyataan menggelikan kaum yahudi yang mengaku memiliki hak atas Palestina, bahwa hak ini merupakan pesan Ilahiah yang disampaikan oleh para nabi. Doktrin sekuler, yang menjadi dasar utama bagi perbankan dan demokrasi, secara tegas menyatakan pemisahaan antara agama dan negara, akan tetapi pernyataan Israel yang mengklaim hak atas tanah Arab memiliki dasar metafisikal, bahkan penelitian arkeologi yang mereka lakukan selama 50 tahun telah gagal memberikan bukti apa pun guna mendukung klaim mereka atas Palestina. Sejak tahun berapa protokol diplomatik memiliki validitas? Mesjid al-Aqsa secara sah telah dinyatakan sebagai Waqf oleh Khalifah Umar Ibn al-Khattab, dan Waqf ini diperbaharui dan dilanjutkan pengesahannya oleh seorang sultan besar pada masa ini, Sultan Abdulhamid II. Beliau pula yang menetapkan Mosul sebagai tanah Waqf, setelah penemuan minyak di sana, bagi ummat Muslim.

Antara tahun 1821 dan 1922, saat Eropa dan Rusia mengalami rekonstruksi ulang melalui beberapa protokol, dapat ditemukan sebuah fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa populasi Muslim di daerah Eropa Timur, termasuk Balkan dan Caucasus, mengalami pemusnahan etnis masal yang terorganisir, dimana menurut perhitungan sederhana, hampir 5.060.000 Muslim tewas. Kami menyarankan pembaca artikel ini untuk menelaah sebuah bahan ilmiah berjudul 'Death and Exile' (ISBN 0-81850-094-4) karangan Justin McCarthy sebagai referensi. Pada tahun 1998, Komisi Islam Eropa telah menyerahkan sebuah laporan detil kepada PBB, Uni Eropa dan negara-negara yang menandatangani Perjanjian Lausanne - 24 Juli 1923. Dalam laporan ini terkandung bukti-bukti nyata atas sejumlah pelanggaran serius berupa, pencabutan kewarganegaraan secara paksa, pengambil alihan hak kepemilikan secara paksa, hukuman atas penggunaan bahasa dan sejumlah bentuk tekanan lain yang dilakukan secara terbuka oleh pemerintahan dan parlemen Yunani dalam rangka pemusnahan komunitas Muslim di Thrace Barat. Laporan ini memperlihatkan bagaimana pemerintah Yunani telah melakukan pelanggaran terhadap lima pasal Perjanjian Lausanne - 24 Juli 1923, kesepakatan bilateral Turki Yunani yang tercantum dalam Perjanjian Athena 1913, Kesepakatan Kultural 1.52, dan Protokol 1958. Laporan ini juga menunjukkan telah terjadinya pelanggaran terhadap sebuah perjanjian yang selalu diagung-agungkan, 'European Convention of Human Rights', yang disahkan pada tahun 1.52, tahun 1975 di Helsinki, tahun 1.82 di Vienna, dan seterusnya dan seterusnya. Negara-negara yang ikut menanda tangani Perjanjian Lausanne adalah, Inggris, Perancis, Italia, Jepang, Yunani, Serbia-Kroasia-Slovia, Amerika Serikat, Turki, dan Bulgaria. Laporan ini kemudian menyebar ke segenap urat nadi struktur dan organisasi Hukum Internasional. Lepas dari dua tiga buah surat tanda terima birokratis, di antaranya datang dari Sekjen PBB, dan seluruh institusi dan badan politis terkati, tidak ada satu pun tanggapan aktif yang datang dari seluruh organisasi dan institusi yang mengaku menjunjung tinggi Hukum Internasional dimana seluruh negara dunia berlindung. Pemerkosaan yang dialami oleh wanita Bosnia Muslim oleh seorang perwira NATO asal Kanada, dibatalkan demi hukum hanya karena sang perwira diberi status 'kekebalan diplomatik'. Pemusnahan etnis masal yang terjadi di Srebenica dikesampingkan begitu saja oleh sebuah penyelidikan palsu sebuah komisi, sementara dosa sebenarnya berada di tangan sejumlah pihak yang menyatakan bahwa mereka adalah para penyelamat Muslim. Sebuah dosa yang bermuara di meja Sekjen PBB.

Bukanlah sebuah ilusi bahwa keruntuhan dari sebuah otoritas moral dan sistem hampa dari nilai-nilai humanisme yang selalu dibisikkan selama bertahun-tahun di telinga kita tengah mencapai puncak kehancurannya, dan suara retorika demokrasi telah dibungkam bersamaan dengan teror dan ketakutan yang disebarkan oleh misil 'pembebas' Amerika Serikat yang meledak di Baghdad. Dan ternyata, ada korban lain yang muncul dari tengah komunitas Muslim. Sudah menjadi suatu fakta bahwa Liga Arab harus dibubarkan. Kita tidak dapat mentolerir lagi paham rasisme yang diusungnya, paham sekularisme yang menjadi landasannya, pernyataan arogannya mengenai Islam sebagai fenomena Arab dan kesetiaannya yang menjijikan terhadap konsep 'nation states'. Untuk kemudian akan terbongkarlah kedok 'The Muslim Brotherhood', di hadapan ummat Muslim, mereka akan mengakui penghianatannya selama ini terhadap kewajiban untuk tunduk kepada satu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh satu orang, bukan pemerintahan yang berdasarkan institusi, organi sasi dan protokol, dimana penarikan Zakat dijalankan secara benar, karena tanpanya Deen Islam tidak akan dapat ditegakkan.

Sangat penting bagi kita untuk dapat melihat jauh melampaui panas dan debu yang menutupi petualangan dan pemusnahan etnis masal terbaru yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Merupakan suatu godaan yang besar untuk menumpahkan semua kesalahan ini ke tangan sebuah negara yang dikenal sebagai Amerika Serikat. Selama 100 tahun terakhir ini, sudah tiga kali Amerika melakukan invasi terhadap Eropa. Dan setiap kali tentara Amerika mendarat, alasan yang dipakai berulang kali adalah pembebasan rakyat, membawa perdamaian dan menegakkan demokrasi! Harga mahal yang harus dibayar untuk Perang Dunia Pertama adalah berdirinya negara Yugoslavia yang penuh dengan kekacauan, dimana kemudian mereka menjadi korban pendudukan Nazi, pendudukan komunis, dan terakhir, menjadi ajang perang partai politik. Dan pada saat Perang Bosnia, kaum Muslim, di bawah kepemimpinan militer yang cemerlang Jendral Alagi, sudah berada di ambang kemenangan , dimana lagi-lagi 'mereka' ikut campur dengan memberikan 'hadiah', kebebasan dan demokrasi. Perang Bosnia berakhir di kamp militer Amerika Serikat, dimana para politisi Bosnia hadir dan anehnya, tak satu pun komandan perang terlihat kehadirannya. Dikelilingi oleh para pengawal bersenjata , para politisi dipaksa untuk menanda tangani Perjanjian Dayton, yang pada pasal pembukanya telah melarang Muslim untuk menegakkan Deen, secara efektif menghapus semua agama (dengan memperkenalkan konsep 'persamaan'), dan memerintahkan negara yang baru berdiri ini untuk menerima sejumlah besar pinjaman dari World Bank dan IMF. Kemudian para yahudi Amerika ini menunjuk Gaultier, dan memberinya kekuasaan untuk memberhentikan para gubernur lokal, walikota dan anggota dewan yang 'dipilih secara demokratis'. Perang Dunia Kedua mengakibatkan separuh dari benua Eropa jatuh ke tangan Stalin dan semangat pemusnahan masalnya. Janganlah kita lupa, bahwa negara pertama yang memberikan pengakuan sah terhadap Soviet Russia adalah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Roosevelt. Cerita menyedihkan dari benua Eropa ini bukan merupakan akhir dari campur tangan Amerika, lihatlah apa yang terjadi di Vietnam dan Korea. Lihat pula apa yang terjadi di Indonesia, di mana telah terjadi pergantian rezim yang mengakibatkan pertumpahan darah dan kerusuhan antar etnis. Rencana pergantian rezim di Malaysia dapat dicegah dan dihentikan secara brilian oleh Dr. Mahathir, ketika ia secara tiba-tiba menahan seorang agen bank tepat sebelum sang agen merebut kekuasaan.

Walaupun kita dapat melihat dengan jelas semua tingkah laku dan campur tangan Amerika dalam semua masalah tersebut, jangan lupa, bahwa semua ini bukanlah hasil dari rencana mereka, adalah suatu kenyataan bahwa semua kejadian ini telah membawa semua institusi politik Amerika ke dalam keadaan kacau, kaku dan ketakutan. Dunia sekarang berada di bawah kepemimpinan sekelompok elit yang jumlahnya, menurut Presiden Perancis, tidak lebih dari 360 orang. Ini bukanlah sebuah teori konspirasi, dan bukan retorika 'kiri'. Kelompok elite ini bukan didukung oleh kekayaan pribadi akan tetapi merupakan sekelompok orang yang berdiri di belakang sistem korporasi yang penuh dengan intrik, perusahaan multi nasional dan supra nasional, dengan dukungan penuh kekayaan finansial, komoditas, industrialis-militer, dan media dari segenap penjuru dunia.

Seorang penyair Inggris kenamaan, Alexander Pope, telah menyingkap semua cacat yang dimiliki oleh kerangka pemikiran politis, dan menunjukkan kepada kita untuk melihat kenyataan yang ada hanya dalam dua baris kata!

"Biarkan saja Sang Pelakunya, ungkapkan Kejahatannya saja"
-- Dimana kemudian dijawab dengan sebuah tantangan--
"Bagaimana bisa Tuan! Bukan Sang Penjudi, tapi Dadunya?"

Kelompok pelobi anti senjata di Amerika mempunyai slogan, "Senjata tidak membunuh manusia - Manusialah yang membunuh!" Orang yang bertanggung jawab atas semua konflik yang terjadi ini bukanlah sang penekan tombol atau penarik picu senjata, orang yang bertanggung jawab atas semua pembunuhan ini adalah para pemilik kekayaan dari sistem kapitalis yang telah menempatkan para tentara di medan peperangan di bawah panji bendera kebangsaan yang tidak memiliki arti, dan dengan penuh semangat kebencian mereka menanamkan kepercayaan bahwa ladang pembunuhan ini merupakan pupuk dari kebebasan.

Hal yang paling paling pahit dan memuakkan dari perang ini dapat kita lihat padanannya dalam observasi yang dilakukan oleh Field Marshal Fosch dari Perancis pada saat Perang Dunia Pertama. Marshal Fosch menyatakan:

"Perangnya para Raja adalah mudah dan memiliki jumlah korban yang rendah. Saat ini kita berada dalam kondisi perangnya para politisi, dimana mereka tidak mau memimpin prajurit mereka di medan peperangan. Jumlah korbannya akan menjadi sangat besar!"

Inilah yang terjadi pada Perang Irak, dimana kita melihat sejumlah 'pemimpin' politik berotak kosong - yang tidak memiliki kemampuan dan selalu ketakutan - berpose sebagai 'pemimpin' perang, walaupun pada kenyataanya mereka bukanlah siapa-siapa. Ini bukanlah perangnya Bush atau Blair. Bush hanyalah seorang alkoholik kronis, yang beberapa bulan lalu ditemukan dalam keadaan mabuk di atas karpet Gedung Putih. Putri-putrinya juga telah didakwa di hadapan hukum atas tuduhan menyimpan minuman beralkohol secara tidak sah. Sedangkan Perdana Mentri Inggris merupakan figur yang memiliki cacat serius, dengan suara tingginya yang melengking-lengking, ia mencari kesana kemari seorang figur pemimpin yang dapat dijadikan panutan, inilah cacat yang membuatnya tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Anak tertuanya ditemukan dalam keadaan mabuk di salah satu sudut daerah West End di London, tengkurap di atas muntahnya sendiri. Jika kita mengambil sebuah analogi dimana Dunia adalah sebuah Country Club, maka mereka berdua bukanlah pemiliknya, bahkan bukan pula para kusir dan pesuruh. Mereka bukan para pelayan yang berkumpul di bawah tangga sebelum melakukan pekerjaannya masing-masing. Mereka tak lebih dari para Tweenies (tokoh boneka acara anak-anak semacam Teletubbies yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV kenamaan Inggris), mereka seperti para pelayan wanita yang selalu ketakutan dan berlari-lari, mereka tinggal dalam kamar mereka yang gelap dan sempit, dan ketika disuruh, mereka akan mengambil perintah dari atasan mereka di lantai atas dan sembari berlari-lari kecil membawanya ke bawah untuk disampaikan. Sudah saatnya untuk mengungkapkan identitas para penguasa Country Club yang sebenarnya dan melemparkan mereka dari kursi kekuasaannya. Tidak dengan cara-cara Terorisme, karena sesungguhnya Terorisme merupakan instrumen kekuasaan mereka. Akan tetapi dengan menarik diri kita untuk keluar dari sistem keuangan ribawi, beserta seluruh perangkat dan instrumen, yang mereka miliki. Dengan menarik diri kita keluar dari sistem kapitalisme, yang tidak akan lama lagi, akan memasang tanda kebebasan berupa papan 'Dijual' di pintu gerbang Country Club mereka, dan pada saat itu tiba, kita beli Country Club tersebut dengan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak Islam, maka sesungguhnya masa pasca-kapitalisme segera dimulai.

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates