Ayat-ayat Obsesi
Posted by Herry @ 15:32 | in Resensi Buku | e-mail this article | + to del.icio.us
Herry Mardian
“Lebih baik kisah satu hikmah yang diraih dengan mati-matian, diminum dan ditelan dengan perjuangan, daripada ribuan hikmah yang diumbar berserakan tapi sebatas kutipan.”
APA novel yang paling saya nikmati? ‘The Alchemist’-nya Paulo Coelho, saya sampai merasa perlu untuk mengecek kesesuaian ‘rasa’ novel tersebut dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Inggrisnya. Apa novel yang paling membuat saya tak bisa menahan diri untuk tidak membuka halaman selanjutnya? ‘Da Vinci Code’-nya Dan Brown. Novel pertama yang saya baca? ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’-nya Hamka, ketika SMP. Air mata saya bercucuran ketika membacanya, dulu sekali.
Kebiasaan membaca sejak SMP ini berlanjut. Setiap bulan, saya biasanya mencari satu novel atau buku untuk ditamatkan. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa-masa krisis moneter dulu, yang membuat harga buku melonjak hingga lima kali lipat. Akhirnya, sekarang saya sangat selektif untuk membeli novel: saya hanya membeli yang saya anggap benar-benar layak untuk dibeli. Kriterianya bagi saya, novel yang saya beli harus mampu mencerahkan, memberi inspirasi, membuat saya mengerti sebuah sudut pandang lain tentang kehidupan, dan melembutkan hati. Kriteria terpenting, novel tersebut harus mampu memunculkan insight yang membuat saya semakin bermunajat. Entah itu berupa sebuah ketakjuban, kesyukuran, sebuah pemahaman, atau bahkan sebuah kesedihan: harus ada sebuah penghadapan baru dari diri saya kepada-Nya, setelah membaca apa yang disampaikan pengarang sebuah novel.
Saya benar-benar ingin membaca karya-karya semacam itu. Setiap lewat ke toko buku, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat-lihat sampel buku, mungkin ada novel atau buku yang bisa membuat saya ‘jatuh hati’, jatuh cinta lagi. Saya ingin mengalami ‘puber kedua’ membaca.
Sebenarnya, sudah lama sekali saya melihat novel ‘Ayat-ayat Cinta’-nya Habiburrahman El-Shirazy di rak pajangan toko buku, mungkin sejak satu atau dua tahun lalu. Tapi entah kenapa, saya tidak tertarik untuk membelinya, walaupun semua orang yang saya tahu bilang itu adalah novel yang bagus. Bahkan, untuk sebagian orang, novel tersebut kualitasnya luar biasa.
Sejak beberapa lama, novel AAC ini intens sekali diiklankan di sebuah harian terkemuka. Harian ini banyak mengutarakan keindahannya, keindahan setting-nya, dan sebagainya. Bahkan ada yang menyamakan pengarangnya dengan Hamka muda, dengan mengatakan ‘melalui novel ini, Hamka generasi ini telah lahir’. Saya mulai merasa perlu untuk membacanya. Sejak beberapa minggu lalu, saya berusaha mencari pinjaman novel ini kepada beberapa teman (hehe…) tapi belum dapat. Akhirnya, beberapa hari lalu, dengan pertimbangan sana-sini, saya membeli novel itu, walaupun mungkin sangat terlambat.
Saya baca novel itu dalam dua hari. Lalu bagaimana hasilnya? Nah, ini saya bingung bagaimana menyampaikannya dengan pas.
Begini saja. Apa obsesi anda? Kalau anda seorang saintis, mungkin anda berharap sejak kecil anda adalah orang yang jenius dalam banyak ilmu pengetahuan, jauh melampaui teman-teman sebaya anda. Anda sejak kecil hingga sekarang, adalah tempat bertanya semua orang. Anda hafal banyak hal luar kepala, dan mampu menjelaskan apapun, segala hal, dalam paradigma sains. Tentu anda juga ingin ganteng atau cantik, sangat pintar bergaul (meskipun sangat pintar di sekolah), banyak disukai lawan jenis. Lalu juga hangat di pergaulan, dan menjadi panutan orang-orang di kalangan anda. Pada usia dua puluhan anda mulai menghasilkan karya-karya sains besar, dan pada usia empat puluhan anda berhasil meraih hadiah nobel.
Anda juga ingin kecerdasan dan karya-karya sains yang anda hasilkan membuat anda jadi orang yang sangat kaya, walaupun lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak lupa, bumbu rumah besar, mobil mewah, dan istri yang luar biasa cantiknya, atau suami yang luar biasa tampannya. Selain itu, sebagai sentuhan tambahan, anda berharap sejak kecil juga bersekolah tambahan pada guru-guru agama kelas satu. Sehingga pada usia SMP anda sudah hafal Al-Qur’an, pada usia SMA anda sudah banyak mengerti persoalan fiqh, hafal hadits, pakar bahasa Arab, juga disela-sela kesibukan masih bisa mengisi waktu luang dengan berdakwah, ceramah, dan mengajar persoalan agama.
Lengkap sudah. Alim, cerdas, jenius, cantik atau ganteng (atau kalaupun tidak, tetap dikejar-kejar lawan jenis). Sangat kaya, juga hafal Qur’an, pakar hadits, terkemuka di komunitas, meraih hadiah nobel, panutan di masyarakat, sekaligus tempat bertanya masyarakat dalam persoalan agama. ketika berumahtangga, kalau bisa sebaiknya penyatuan kedua belah pihak merupakan perpaduan dari kalangan ulama terkemuka dengan kalangan pengusaha ternama. Apa yang kurang?
Itu obsesi seorang saintis, mungkin. Kalau anda seorang pekerja kantoran? Kira-kira sama, hanya dalam bingkai kehidupan kantor. Seorang dosen? Atau ibu rumah tangga? Tidak jauh. Seorang aktivis dakwah? Tidak akan jauh dari itu, tapi tentu dalam bingkai kehidupan seorang aktivis dakwah. Semua ingin hidup sedemikian lancar dan mudah, linear. Makin tambah umur, makin baik saja kehidupan ini. Sedikit banyak, itu obsesi kita semua. Muda bahagia, dewasa kaya, pasangan tergila-gila, dan mati masuk surga, saking alimnya. Kita, atau tepatnya hawa nafsu kita, selalu ber’panjang angan-angan’ seperti itu. Hawa nafsu kita berangan-angan tentang kehidupan ini yang sedemikan indah dan mudahnya.
Kita kembali ke novel.
Pertama membuka novel AAC, saya cukup terkesan. Lima belas kali cetak ulang, dalam waktu dua tahun saja! Lalu disambung dengan enam halaman (!) berisi sembilan belas kutipan komentar positif maupun pujian dari kalangan tokoh masyarakat dan pembaca. Dan saya mulai membaca Bab I.
Tokoh utamanya seorang pria usia dua puluhan bernama Fahri, anak seorang penjual tape ketan keliling di kampung, lulusan madrasah yang kebetulan berhasil sekolah S2 sampai ke Mesir. Penyampaian pengarang bagus. Alurnya mengalir lancar dan rapi, dengan diwarnai detil seperlunya, khas pengarang pria yang tidak merasa perlu untuk berkutat terlalu dalam dengan detil.
Di mata saya, bab-bab pembuka membangun fondasi cerita dengan baik sekali. Pembaca dibawa mengenal tokoh utama dan mulai mengenal tokoh-tokoh terkait dengan rapi dan mengesankan. Penulis sanggup membuat pembaca ‘hidup’ dalam keseharian sang tokoh dengan rapi dan wajar, tanpa terlalu banyak berkutat di detil. Tidak ada ‘culture shock’ pembaca yang merasa asing ketika masuk ke kehidupan tokoh dalam novel tersebut. Pengarang mampu membuat isi novel tersebut seperti bagian dari kehidupan kita, walaupun dengan setting kehidupan keseharian mahasiswa di Mesir. Ini cukup membuat saya angkat topi.
Pada bab-bab selanjutnya, bab-bab pengantar, pembaca dikenalkan dengan tokoh kedua dengan cara yang misterius, sekaligus indah. Sayang, pada bab-bab ini juga saya mulai merasa aneh, walaupun baru sedikit. Secara halus, bab tiga difungsikan untuk menampakkan pada pembaca mengenai kepakaran dan kefaqihan sang tokoh dalam persoalan agama, bahkan orang Mesir yang baru sekali bertemu dalam kereta pun langsung terkesan dengan kepakaran sang mahasiswa muda ini (yang kebetulan merasa perlu untuk menunjukkan kemampuan dirinya dalam kereta umum). Selain menunjukkan kemampuannya berbicara dalam bahasa Arab, Jerman dan Perancis, bab-bab ini juga menggambarkan pada pembaca betapa sang tokoh adalah orang yang dituakan dan disegani di kalangan mahasiswa di kosnya maupun bagi kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir. ‘Alangkah pintarnya diriku’ terasa menjadi esensi bab-bab ini.
Walaupun demikian, di sisi yang lain, pembaca dibawa bertemu dengan tokoh kedua dengan cara yang mengesankan. Yang juga mengesankan, pembaca tidak tahu bahwa ada seorang tokoh di bab-bab awal ini yang kelak juga akan menjadi seorang tokoh utama, karena dimunculkan dengan demikian halusnya.
Masuk ke bab-bab pertengahan, walaupun disampaikan dengan halus dan baik sekali, tapi esensi cerita mulai dibumbui dengan taburan serakan kebaikan-kebaikan diri sang tokoh, penggambaran bahwa sang tokoh ternyata adalah ikhwan yang diimpikan, atau obyek obsesi, dari kalangan wanita-wanita ’shalihah’ (kalangan wanita berjilbab, belajar agama, dari latar belakang keluarga kaya atau ulama terkemuka), juga dari wanita Islam Jerman, dan dari wanita ‘ahlul kitab’ (kristen koptik), yang ‘kebetulan’ semuanya digambarkan sebagai wanita yang luar biasa cantiknya. Semuanya jatuh cinta kepadanya, mengirim surat-surat cinta, dan sang tokoh ‘terpaksa’ tidak menanggapinya, dengan mengajukan dalil-dalil persoalan muhrim di Qur’an dan hadits. Esensi bab-bab ini? ‘Alangkah teguh imanku, tiada tergoda’.
Masuk ke bab-bab esensi cerita, sebenarnya saya mengharapkan sekali adanya sebuah kejutan yang insightful, yang dalam, yang spiritual, yang bermakna, sesuai label di cover novelnya : ‘Sebuah Novel (Islami) Pembangun Jiwa.’ Apa saya mendapatkannya?
Kisah pada bab-bab inti diawali dengan pernikahan yang keterlaluan beruntungnya. Sesuai tata cara ‘islami’ (dalam tanda kutip), sang tokoh menikah dengan akhwat yang tidak dikenalnya, tapi dipilihkan ustadnya. Tak dinyana, akhwat tersebut luar biasa cantiknya (baru ketahuan karena sebelumnya selalu mengenakan cadar), anak seorang saintis terkemuka sekaligus pengusaha internasional, dan memiliki sebuah apartemen supermewah. Maka pindahlah sang mahasiswa anak tukang tape itu, dari kamar kos kelas mahasiswa ke apartemen paling mewah di Kairo. Dan disana, sebagai istri ’shalihah’ yang berbakti, sang istri membagi segala miliknya untuk suami tercinta (yang digambarkan romantis luar biasa setelah menikah: romantis yang ‘islami’). Termasuk membagi kepemilikan apartemen mewah. Dan si istri, sebagai tanda baktinya, memaksa suaminya menerima satu dari dua kartu ATM milik sang istri yang masing-masing berisi uang puluhan juta dollar.
Jadilah ’sekonyong-konyong’ (apa ya kata yang tepat?) seorang anak tukang tape ketan keliling menjadi multi ziliuner (dalam dollar, bukan dalam rupiah), suami pemilik saham banyak hotel dan apartemen mewah yang tersebar di berbagai belahan dunia. Ia pun, untuk bisa mengantar istrinya, mau tidak mau ia pun ‘terpaksa’ harus belajar mengemudikan mobil (mewah). Tidak lupa, supaya tetap hidup sederhana, dari banyak pilihan mobil yang harus dibeli, ia menganjurkan pada istrinya untuk membeli mobil (mewah) yang bekas saja, tidak perlu yang baru.
Pada saat yang sama, akhwat-akhwat (cantik) lain yang selama ini terobsesi padanya menjadi sedemikian patah hati, sampai ada yang kehilangan semangat hidup hingga koma. Ada pula yang menghiba untuk dijadikan istri kedua saja. Namun, karena nasihat bijak sang tokoh cerita yang demikian bijaksana, pada akhirnya si akhwat mau juga menikah dengan ikhwan ’sholeh’ lain sambil belajar untuk melupakan dirinya, walaupun akhwat ini menulis dalam surat cintanya, ‘cintaku padamu t’lah terlanjur mendarah daging dan menyumsum dalam diriku, kalau engkau tidak mau berpoligami, maka biarkan aku membawa cintaku ke jalan sunyi, jalan yang ditempuh orang sufi, setia pada yang dicintai sampai mati.’
Kemudian, alur cerita tiba-tiba dibuat dramatis dengan diputar balik secara mendadak. Sang tokoh, karena sesuatu dan lain hal, ternyata harus masuk penjara. Istri cantiknya hampir diperkosa. Dalam penjara ia menjadi kurus kering dan kurang makan, mengalami siksaan keji, dan sebagainya. Lalu cerita dibalik lagi sehingga sang tokoh bebas dengan dramatis, sekaligus membuat saya menghela nafas.
Saya kira, jika seandainya kisah jatuh bangun dalam penjara ini digali lebih dalam, mungkin nuansa novel ini berubah. Sayangnya, justru di titik ‘ujian kehidupan’ ini, titik di mana biasanya seseorang mendapatkan hikmah dan rasa butuh akan Allah, titik ketika seseorang menghayati hakikat dirinya sebagai makhluk yang fakir dan butuh kepada Rabb-nya, hanya disajikan sebagai dramatisasi cerita.
Sebenarnya di bab-bab ini saya benar-benar mengharapkan ada sesuatu yang bermakna. Tapi rupanya, dalam kisah selanjutnya, kebebasan sang tokoh dari penjara membuatnya masuk ke sebuah situasi yang sedemikian rupa sehingga si tokoh, mau tidak mau, harus menerima permintaan sang istri cantiknya itu (yang baru saja dinikahinya) untuk menikah lagi dengan wanita yang tak kalah jelita kecantikannya. Menariknya, si istrilah yang dengan menangis harus memaksa suaminya berpoligami, dan si suami terpaksa menerima permintaan istrinya itu dengan menangis juga…
Bab-bab penutupnya? Saya merasa tidak mendapatkannya. Benar, walaupun yang saya sampaikan di atas bukan akhir cerita, tapi kisahnya terasa terpotong begitu saja, tidak ada bab-bab epilog yang mengantar untuk menutup buku dan mengakhiri cerita.
Jadi apa insightnya? Justru itulah yang membuat saya menghela nafas seselesainya membaca. Saya merasa tidak memperoleh insight apa-apa. Apa jiwa saya bangun, sesuai tulisan di sampul bukunya, ’sebuah novel pembangun jiwa’? Rasanya tidak. Jiwa saya seperti jadi hampa tertimbun angan-angan : oh, andai saya seperti itu, andai kehidupan senikmat itu, dan sebagainya. Angan-angan baru itu justru cenderung melenyapkan rasa bersyukur saya dengan kehidupan saya yang, walaupun ’segini-gininya’ ini (beli novel aja mikir dulu, bo), Allah sendirilah yang merancang skenario kehidupan saya, dan kehidupan anda, dengan tangan-Nya sendiri, spesifik untuk kita masing-masing.
Ada yang positif muncul dari dalam diri saya seselesainya membaca : saya semakin rindu kesejatian, dengan makna dan perenungan; dan saya semakin tak suka saja dengan kepalsuan dan atribut tempelan.
: : : : : : : :
Jangan salah. Ini bukan
Jumat, 14 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar