Ketika Harus Berada di Wilayah "Basah"
Wilayah ‘basah’ selalu saja menggiurkan bagi banyak orang, tak kecuali juru dakwah. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup bertahan melawan godaan.
Sulaiman adalah nabi sekaligus raja yang kaya raya. Begitu besar kekayaannya, sampai detik ini belum seorang pun yang bisa menyamainya. Tak hanya kaya, Sulaiman pun seorang penguasa. Yang menjadi ‘kekuasaannya’, tak hanya bangsa manusia, tapi juga hewan, angin bahkan bangsa jin pun takluk di bawah titahnya.
Ayahnya, Nabi Daud dulunya juga seorang raja. Dengan demikian, baik sebelum maupun setelah berkuasa, Sulaiman tergolong orang yang mempunyai pengaruh luar biasa besar.
Bagi Nabi Sulaiman, kekuasaan adalah amanah sekaligus sarana. Dengan kekuasaannyalah ia membangun masjid al-Aqsha yang hingga kini masih bisa kita saksikan di tanah suci Yerusalem. Dengan kekuasaannya juga, ia menundukkan penguasa Yaman, Ratu Balqis, yang akhirnya menjadi permaisurinya.
Semua kekuasaan serba lengkap itu tak membuat Sulaiman lupa diri. Baginya, kekuasaan hanyalah amanah yang dititipkan Allah. Baginya, kekuasaan hanyalah karunia dari Allah untuk menguji seorang hamba; apakah bersyukur atau kufur. Hadza min fadhli rabbi. Liyabluani a asykuru am akfur (Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk menguji apakah aku bersykur atau kufur, QS an-Naml; 40).
Sulaiman tidak sendirian. Walaupun kekuasaan dan kekayaannya tidak sebesar Sulaiman, Nabi Yusuf pun tergolong orang yang dipilih Allah untuk berada di tempat ‘basah’. Ia adalah Nabi sekaligus raja, penguasa Mesir. Bedanya, sebelum menjadi raja, Sulaiman adalah putra raja yang sudah bergelut dengan kekuasaan, tapi Yusuf sebaliknya. Sebelum berkuasa, Yusuf harus melewati badai kehidupan. Sejak kecil, Yusuf sudah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh saudaranya sendiri. Karena korban iri hati, ia harus diceburkan ke dalam sumur dalam sebuah usaha pembunuhan terencana.
Setelah diselamatkan oleh seorang musafir, Yusuf harus menjalani hidup keras sebagai budak. Bak barang dagangan, Yusuf berpindah dari majikan satu ke majikan lain. Hingga akhirnya ia menjadi pelayan Mesir.
Di sana, Yusuf harus mengalami ujian lagi yang bentuknya lain. Permaisuri sang raja, tergila-gila kepadanya dan mengajaknya menyeleweng dari tuntunan Allah. Karena karunia Allah dan ketegaran iman Yusuf, ia berhasil melalui ujian itu dengan baik.
Yusuf dijebloskan ke dalam penjara tanpa bukti kesalahan apa pun. Namun, justru tempat ini menjadi lahan dakwah baru bagi Yusuf. Penjara menjadi penempa iman dan budi pekerti baginya. Akhirnya, ia pun dibebaskan lantaran diminta menakwilkan mimpi raja. Dari sinilah Yusuf mengawali karirnya hingga akhirnya menjadi penguasa Mesir.
Ya, hidup ini memang pergumulan ujian dan cobaan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang sebenarnya halal, bahkan kadang harus diisi oleh umat Islam. Jabatan dan kekuasaan adalah area ‘terbasah’ yang sebenarnya tak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Dalam syariat Islam sendiri jabatan dan harta bukanlah hal yang dilarang. Justru penegakan sebagian hukum Islam mesti ditopang oleh dua pilar itu. Harus ada yang menjadi penguasa dan mesti ada orang kaya.
Hanya saja, tak semua orang berhasil berdiri dengan kedua kaki, kokoh kala berada di kedua tempat itu. Kekuasaan dan harta selalu menggoda orang untuk melakukan segalanya. Ia bisa mengubah si shalih menjadi thalih (jahat) dan mengubah si miskin menjadi kaya (mendadak). Karena tak semua orang bisa bertahan di area ini, ketika Abu Dzar al-Ghifari meminta jabatan, dengan tegas Rasulullah saw menolak. Sahabat ini dipandang tak kuat memegang jabatan.
Abu Dzar sendiri tahu diri. Sejak itu, ia menjadi orang yang paling takut dengan kekuasaan dan harta. Ia bahkan ‘membenci’ orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa al-Asy’ari. Ketika melihat Abu Dzar, Abu Musa membentangkan kedua tangannya sambil berseru girang, “Selamat wahai Abu Dzar, selamat wahai saudaraku!”
Tetapi Abu Dzar berseru, “Aku bukan ‘saudaramu’ lagi! Kita ‘bersaudara’ sebelum Anda menjadi gubernur.”
Demikian pula ketika Abu Hurairah datang memeluknya sambil mengucapkan selamat, Abu Dzar menolak dengan tangan, seraya berkata, “Menyingkirlah dariku. Bukankah Anda telah menjadi seorang pejabat; hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak dan mengusahakan pertanian!” Abu Hurairah menyanggah dengan gigih dan menolak semua desas-desus itu.
Mungkin sikap dan prinsip Abu Dzar ‘keterlaluan’ terhadap harta dan kekuasaan. Tetapi ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan pikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan kedua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Dari sini juga muncul kaidah, bahwa seharusnya orang yang menginginkan jabatan tak selayaknya diberi.
Kekayaan pun demikian. Ia adalah area ‘basah’ yang tak jarang membuat orang terjerumus dan tak bisa kembali ke daratan lagi. Karenanya, ketika dalam banyak kesempatan, Islam menyuruh penganutnya untuk berdagang, tapi pada saat yang sama, Islam mengingatkan bahwa wilayah ini sangat rentan godaan. Kepada para pedagang dan pencari uang, Rasulullah saw mengingatkan, “Wahai para pedagang, sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka, kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan benar,” (HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, “Empat orang yang dimurkai Allah; penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orangtua renta yang berzina, dan pemimpin yang zalim,” (HR Nasa’i).
Selain jabatan dan kekuasaan, ada satu lagi area yang bisa disebut ‘basah’, yaitu dunia militer. Pada masa Rasulullah saw area ini mungkin belum begitu menggoda karena hampir semua kaum Muslimin adalah prajurit. Namun demikian, Rasulullah saw sudah mewanti-wanti, bahwa wilayah ini jangan dipergunakan seenaknya. Militerisme hanya boleh digunakan ketika berhadapan dengan musuh, dan bukan dengan kawan. Karenanya, para sahabat Rasulullah saw sangat bisa menempatkan diri. Mereka adalah fursaanun fin nahar (prajurit di siang hari) dan ruhbaanun fil lail (hamba-hamba Allah yang khusyu’ bersujud di malam hari).
Ini juga yang menjelaskan mengapa ekpresi kegagahan dan militeristik hanya boleh di tampilkan pada detik-detik menghadapi musuh. Pada perang Uhud ketika Abu Dujanah dengan gagahnya meliuk-liukkan tubuh sambil mengayun-ayunkan pedang, Rasulullah saw tak melarangnya. Bahkan beliau berkata, “Innaha lamasyyatun yubghidhuhullah illa fi hadzal mauthin (Sesungguhnya perbuatan itu sangat dibenci Allah kecuali di tempat ini).
Prinsip ini juga yang dipakai Khalifah Umar bin Khathab ketika memberhentikan Khalid bin Waid dari jabatannya sebagai panglima. “Wahai Khalid, saya memecat Anda bukan karena meragukan kehebatanmu, tapi saya khawatir orang akan terpesona sehingga mengurangi keikhlasanmu,” ujar Umar.
Masih banyak area ‘basah’ yang penuh godaan dan tantangan. Wilayah-wilayah itu memang tak boleh kosong. Namun, yang mengisinya tak boleh sembarangan. Ia harus benar-benar mampu mengendalikannya. Sulaiman dan Yusuf hanya contoh orang-orang yang sanggup bertahan di tempat ‘basah’. Harta dan kekuasaan tak membuat mereka lalai dari tugas manusia sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar