Senin, 10 November 2008

Mimpi Suami

Mimpi Suami, Mimpi Istri, Mimpi Keluarga



Mimpi Suami, Mimpi Istri, Mimpi Keluarga

Membangun mimpi individual, dari skala, relatif lebih mudah ketimbang
membangun mimpi yang mau tak mau melibatkan orang ketiga (suami, istri,
anak, mitra bisnis, investor, dll). Ketika sendiri, kita bisa menebar
mimpi apa saja dan berusaha dengan segala daya mewujudkannya. Namun,
begitu berkeluaga, sepasang manusia dengan penuh cinta saling membagi
mimpi dan berusaha mengkonstruksikan mimpi bersama, kemudian
bersama-sama membangun.

Filosofinya, rumus matematika 1+1=2 tidak laku dalam pernikahan.
Pernikahan adalah sinergi dua manusia yang punya potensi untuk
melancarkan energi positif yang sebelumnya tertutup pada masing-masing
individu. Cinta yang ditumpahkan masing-masing akan membuat pasangan
suami istri memiliki energi yang berlimpah untuk mewujudkan mimpi
bersama. Saya sangat merasakan bedanya hidup sebelum dan setelah
menikah. Tanpa istri yang mendampingi dengan penuh cinta, mustahil saya
meraih semua ini.

Rumus menikah yang tepat adalah 1+1 >>> 2. Satu ditambah satu hasilnya
jauuuuh di atas dua. Dulu di awal menikah, kami berdua mencari kontrakan
yang murah meriah dengan jalan kaki ke mana-mana sambil ketawa-ketawa.
Akhirnya dapat kontrak rumah mungil di tengah kebun duku di kawasan
Condet, dengan listrik hanya110 KWh. Hidup ada adanya, rumah tanpa dipan
dan kasur, tanpa teve, bahkan jemuran baju pun tak punya. Buat kami, itu
sudah mewah. Bisa kawin dengan lancar saja sudah seneng. Bahkan saat itu
saya sering bercanda ke istri, "Kayaknya ayah cuma bisa beli mobil itu
deh", begitu melihat mobil Datsun tua dan keropos lewat. Namun lulusan
cum laude Farmasi UGM yang mau dinikahi sarjana Teknik dengan IP 2,19
itu hanya tersenyum. Matanya yang bening seolah berkata: "Sudahlah,
tidak usah risau dengan materi seperti itu".

Mimpi istri sudah kelihatan sejak awal. Dia seorang yang sangat
mencintai harmoni, kebersamaan, dan tidak mendewakan materi. Dia lebih
senang menjadi dosen dan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan
anak dan memberi dukungan ke suami. Ia tidak tertarik bekerja di
perusahaan farmasi yang mau memberinya gaji dan fasilitas jauh lebih
tinggi namun harus berangkat dari rumah jam 06.00 dan pulang ke rumah
jam 19.00 ke atas. Mata teduhnya seolah mengatakan: saya hanya akan
bekerja selama saya bisa terus menerus meniupkan nafas cinta ke anak dan
suami.

Balutan cinta itulah yang menjaga suaminya untuk berkarir setinggi
mungkin, bekerja sekeras mungkin, "berspekulasi seaman mungkin",
bermimpi setinggi mungkin, dengan tetap sadar terhadap mimpi istri,
mimpi keluarga, bahkan mimpi anak. Mimpi istri akan keluarga sakinah
mawaddah wa rochmah, mendorong suami untuk mencari rezeki yang halal.
Rezeki yang dialirkan ke rumah adalah hasil keringat sendiri, bukan
hasil korupsi (termasuk korupsi waktu dan korupsi lain). Di saat lelah
kerjaan kantor, kebanyakan rekan kerja ke café hingga petang, saya
memilih pulang ke rumah kelonan dengan istri dan anak. Saya lebih suka
menumpahkan kelelahan dalam pelukan hangat istri.

Namun, filosofi yang kelihatannya sederhana (1+1>>>2) itu tidak mudah
dipraktekkan. Saya menemukan rekan kerja yang di ujung perceraian karena
istrinya cemburu dengan suaminya yang sukses dan banyak dikelilingi
wanita cantik. Saya juga melihat seorang wanita yang karirnya melejit
ketika karir suaminya datar sehingga memicu rasa minder suami yang
ujung-ujungnya mempertinggi percekcokan keluarga. Saya pun kadang
diolok-olok sebagai suami takut istri, bahkan ditasbihkan sebagai ketua
ISTI (ikatan suami takut istri), karena memilih pulang ketimbang
nonkrong di café hingga petang.

Tiap keluarga pasti akan memiliki tantangan masing-masing. Berbagi mimpi
sebagai individu, saling menghargai mimpi pasangan, menyepakati mimpi
bersama, dan dengan penuh cinta membangun mimpi-mimpi tersebut memang
bukan perkara mudah. Perlu banyak diskusi, wajib banyak latihan untuk
memahami mimpi dan keterbatasan pasangan masing-masing. Itu akan bisa
dilaksanakan jika pada saat-saat kritis, kita mengingat awal-awal
perkawinan, saat di mana kita yakin, dialah orang terhebat yang bakal
mendampingi hidup kita. Pasangan kita bukanlah penghambat mimpi atau
bahkan pesaing mewujudkan mimpi. Pasangan hidup adalah jiwa tambahan
yang membuat kita bisa terbang jauh lebih tinggi bersama-sama untuk
menggapai mimpi bersama yang tak terbayangkan ketika masih sendiri.

Luthfie

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates