Jumat, 14 November 2008

Pengetahuan Islam

Sedikit Tentang ‘Ana Al-Haqq’ : Samakah Dengan ‘Akulah Allah’?
Posted by Herry @ 16:34 | in Pengetahuan Islam Dasar, Tanya Jawab, Kolom | e-mail this article | + to del.icio.us
[Tanya]
Saya kemarin membaca bukunya rumi, judul pastinya lupa tapi isinya tentang puisi-puisi harian dari rumi selama satu tahun/12 bulan. Lalu ada puisi yang saya interpretasikan sendiri seperti ini:
Hallaj berkata “ana al haq”, Fir’aun pun berkata “ana al haq”, satu kata dua makna. Betulkah?
lalu saya juga tertarik dengan fenomena syeh siti jenar, yang katanya jadi Hallajnya indonesia, betulakah dia yang mengatakan konsep manunggaling kawula gusti? kalo tidak salah konsep ini juga diakui oleh penganut kejawen?

[Jawab]
Puisi itu terkenal sekali, dikutip di mana-mana dalam berbagai bahasa. Sayangnya, yang dikutip hanyalah sepotong saja, hanya semata-mata sebagai argumen untuk menunjukan kesesatan kaum sufi. Padahal seharusnya puisi itu dibaca secara utuh.
Puisi Rumi yang dimaksud adalah yang ada dalam bukunya ‘Fihi ma Fihi’ ini:
“When Hallaj’s love for God reached its utmost limit, he became his own enemy and naughted himself.
He said, “I am Haqq,” that is, “I have been annihilated; God remains, nothing else.”
This is extreme humility and the utmost limit of servanthood. It means, “He alone is.”
To make a false claim and to be proud is to say, “Thou art God and I am the servant.” For in this way you are affirming your own existence, and duality is the necessary result. Hence God said, “I am God.” Other than He, nothing else existed.
Hallaj had been annihilated, so those were the words of God.
Pharaoh said, “I am God,” and became despicable. Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.
That “I” brought with it God’s curse, but this “I” brought His Mercy, oh friend! To say “I” at the wrong time is a curse, but to say it at the right time is a mercy.
Without doubt Hallaj’s “I” was a mercy, but that of Pharaoh became a curse. Note this!
(William C. Chittick, Fihi ma Fihi, in ‘The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi’, pp. 191-193)
Pertama-tama, saya sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin Allah yang Maha Tak Terbatas secara total akan bisa bersatu seratus persen dengan makhluk. Ini sudah tentu sesuatu yang mustahil. Hanya saja, saya mengamati bahwa banyak hal yang perlu ditelaah lebih dalam mengenai persoalan ini.
Catatan: sedikit mengenai apa yang dituduhkan dengan ‘penyatuan Tuhan dan manusia’ (pantheism) kepada kaum sufi, saya bahas sedikit dalam artikel ini.
Kedua, saya sama sekali bukan orang yang memahami persoalan ini. Hanya saja saya pernah sedikit ‘kutak-katik’ tentang ‘Al-Haqq’ dan mungkin bermanfaat jika saya share di sini.

Tentang puisi tersebut dan terjemahannya
Umumnya orang membaca kutipan puisi tersebut, yang (sayangnya) umumnya hanya mencantumkan kalimat ke dua saja. Kutipan yang sangat umum mengenai puisi tersebut pada buku-buku di Indonesia (sayangnya) hanyalah sepotong ini saja, ditambah dengan kualitas terjemahan yang tidak akurat:
“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”
Padahal dalam Fihi Ma Fihi, potongan ini justru diterangkan oleh alinea sebelumnya.
Chittick, di buku aslinya, mencantumkan terjemahan puisi Rumi dari bahasa Persia dengan cukup akurat. Tapi ketika buku Chittick tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat berikut ini:
Pharaoh said, “I am God,” and became despicable.
Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.
Entah kenapa diterjemahkan menjadi:
“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”
Terjemahan ini saya kutip dari buku William C. Chittick, ‘Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi’, Edisi Baru Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Mei 2002; yang menerjemahkan buku ini dari buku Chittick edisi bahasa Inggris di atas.
Sayang sekali kata terjemahannya adalah “Akulah Tuhan,” padahal kata-katanya adalah “Ana’l Haqq”, dan Chittick menerjemahkan ke bahasa Inggris dengan lebih akurat, ‘I am Haqq’. Beberapa penerjemah bahasa Inggris lain kadang menerjemahkan dengan ‘I am The Truth’. Oleh penerjemah ke bahasa Indonesia, sayang kata-katanya berubah melenceng jauh menjadi ‘Akulah Tuhan.’
Mungkin karena umumnya orang tidak membacanya secara lengkap, maka ini menimbulkan kebingungan pada mereka yang hanya membaca sepotong ini saja. Padahal Rumi telah menerangkan apa maksud kata-kata Mansur Al-Hallaj tersebut pada alinea sebelumnya (dan pada banyak puisi Rumi lainnya).
Sendainya kita membaca dengan teliti alinea sebelumnya, maka sedikit banyak akan kita dapatkan perbedaan maupun ‘kisi-kisi’ makna ‘Ana’l Haqq’ yang dikatakannya, yaitu (dalam alinea sebelumnya) “aku sesungguhnya tidak ada, hanya Allah yang eksis, tiada yang lain.” Ini menegaskan bahwa kesejatian hanyalah Allah saja, dan tidak ada yang sejati, yang benar-benar tidak ada hubungan sebab-akibat dengan apapun, selain Allah.
Sebuah kenyataan yang agak disayangkan, bahwa di Indonesia hampir semuanya menerjemahkan “Ana Al-Haqq” dari Hallaj serta-merta menjadi “Akulah Tuhan.” Padahal dia tidak mengatakan “Ana Rabb,” atau “Ana ‘Llah.” Jarang yang menerjemahkannya menjadi “Aku Al-Haqq”, sebagaimana adanya.
Sedangkan Fir’aun, ia memang mengatakan “Ilah”, ia adalah ilah yang patut disembah kaumnya, sebagaimana diabadikan Al-Qur’an surat 28:38,

“Yaa ayyuhal malaa’u maa ‘alimtulakum min ilaahi ghairii.”
Ada perbedaan yang sangat besar di antara perkataan mereka yang mengatakan diri sebagai Al-Haqq dan sebagai Ilah.
Dengan demikian, dengan segala keawaman maupun keterbatasan pengetahuan saya, rasanya saya mempercayai bahwa Hallaj tidak sedang mengatakan “akulah Allah”.

Al-Haqq
Apakah ‘Al-Haqq’ itu? Al-Haqq adalah satu nama Allah, tepatnya nama-Nya yang ke lima puluh dua, dari sembilan puluh sembilan nama-nama indah-Nya yang Dia izinkan untuk manusia ketahui.
Sebagaimana diterangkan di Qur’an pula, “Haqq” adalah kebalikan dari “Batil” (2:42, 8:8, 17:81, 21:18, 34:49, 47:3).
Tidak hanya Hallaj, Al-Qur’an pun mengatakan bahwa para Rasul membawa Al-Haqq (Q.S. [7]: 53):

“Qad jaa’at rusulu rabbina bi Al-Haqq”, telah datang rasul-rasul Rabb kami dengan Al-Haqq.
Sedangkan pada Q.S.[10]:35 dikatakan bahwa Allahlah yang memberi petunjuk kepada ‘Al-Haqq’:

“Qulil ‘Laahu yahdi lil-Haqq”, Allahlah yang memberi petunjuk kepada Al-Haqq.
Dengan data-data itu, rasanya saya pun akhirnya ‘terpaksa’ mengakui bahwa siapapun dapat memperoleh ‘Al-Haqq’, jika ditunjuki-Nya.
Dan, juga dari data-data itu, rasanya saya percaya bahwa ‘Al-Haqq’ bukan berarti ‘Allah’. Ini dua hal yang berbeda. Allah sebagai dzat tidak otomatis sama dengan Al-Haqq, tapi Allah yang menunjuki siapapun kepada Al-Haqq. Al-Haqq hanya salah satu sifat-Nya, sama seperti ketika Allah menyematkan sifat Ar-Rahmaan pada seorang hamba-Nya sehingga hamba-Nya itu menjadi bersifat rahmaniyah.
Jadi rasanya Hallaj memaksudkan bahwa ‘dalam diriku ada sifat Al-Haqq‘, atau ‘Aku hanyalah salah satu tanda Al-Haqq‘, atau mungkin juga ‘Aku adalah tanda kesejatian/kebenaran’.
Saya tidak tahu persis apa makna perkataannya, tapi yang jelas dari data-data tersebut, rasanya yang jelas adalah bahwa dia tidak sedang mengatakan bahwa “Sayalah Allah”, sebagaimana banyak yang disalah artikan oleh masyarakat umum.

Syaikh Siti Jenar
Demikian pula mengenai kata-kata Syaikh Siti Jenar. Saya benar-benar tidak mengetahui apapun tentang beliau, dan kata-katanya “Manunggaling Kawulo gusti”.
Tapi yang saya pahami, jika kita banyak meneliti serat-serat suluk jawa, jika diperhatikan selalu ada dua ‘gusti’, yaitu Gusti dengan G kapital dan ‘gusti’ dengan G biasa.
Dalam tradisi puisi sufi, Gusti, atau Raja dengan huruf besar menyimbolkan Allah. Sedangkan ‘gusti’, atau ‘tuan’ dengan huruf kecil, menyimbolkan jiwa yang telah suci dan tenang (nafs muthma’innah) yang memimpin dan menjadi tuan bagi sang raga untuk menuju Allah.
Sependek pengetahuan saya, rasanya saya cukup yakin bahwa ‘gusti’ pada ajaran Siti Djenar adalah gusti dengan g kecil.
Wass Wr Wb

All works above are licensed under
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 License
«« Previous Post
'Sufi Brengsek'
Next Post »»
'Memahami Takdir — Bawa Muhaiyaddeen'

.:: TrackBack: Right click here and copy link for TrackBack URI ::.

:: RSS feed for comments to this post ::

28 Comments - (Give Comment) »
1. memang pemahaman akan hal tersebut agak susah, karena biar bagaimana pun bahasa Arab, bahasa Jawa dan bahasa indonesia akan mengunggapkan sesuatu hal sudah lain satu sama lainnya.
tetapi menurut referensi yang saya terima, manunggaling kawulo gusti adalah rasa peniadaan diri seseorang. semua yang Aku lakukan, yang Aku rasakan hakikatnya adalah Allah swt yang menggerakan anggota tubuh dan pikiran serta perasaan saya.
jika misalnya saya melakukan sholat, esensinya itu juga Allah yang menggerakkan, jika saya melakukan maksiat Hakikatnya itu juga Allah yang menggerakkan. karena hakikatnya Aku adalah Tidak ada dan tidak punya apa2. semua adalah Allah “waidza aroda syaian an yaqula lahu kun fayakun” ( Rukun Iman ke 6 : percaya pada takdir baik dan buruk. jika seumpama saya rajin sholat, beribadah kpd Allah berarti Allah menakdirkan baik kepada saya, dan begitu juga sebaliknya)
hal ini berdasarkan beberapa alasan :
1. karena manusia / semua mahluk cipataan Allah tidak mempunyai setitik kekuatan pun. karena semuanya berasal dari Allah. ” la haula wala quwwata illabillahil aliyyil adzim”
2. karena pada hakikatnya semua yang kita lakukan / perbuat itu adalah Allah yang menggerakkan / di balik semua perbuatan itu ” innallaha ya`malu ma ta` maluun” ( Al qur`an)
3. karena semua yang ada di langit dan bumi serta seisinya adalah milik Allah, termasuk jiwa dan ruh kita “lillahi ma fissamawati wama fil arldz” ( Al qur`an)
4. karena Aku adalan realita dari esensi perwujudan dan sifat2 Tuhan sebagai bukti pengejawantahan keagungan Allah swt.
kalo misalnya saya membunuh seseorang itu berarti Allah yang maha mematikan, jika saya mencintai dan mengasihi seseorang itu berarti Allah yang maha rahman rahim. karena saya tidak mempunyai kekuatan apapun untuk itu. bahkan ketika saya sedang mengetik tulisan ini, esensinya yang menggerakkan pikiran saya, yang menggerakkan tangan saya tidak lain adalah Allah Yang Maha Agung.
Anda tdk perlu bingung dengan realita ini, dan tidak perlu terlalu fanatik sama orang2 KAFIR, karena itu sudah takdir mereka. dan rahasia Allah hanya Allah saja yang tahu. karena kita sudah memiliki jalan kita sendiri. begitu juga dengan mereka.
biar bagaimana pun aku tetaplah Mahluk biasa. dan Allah adalah magha segala2nya.
Comment by chamid — Thursday, February 16, 2006 @ 21:01
2. Kalau saya cenderung tidak setuju faham fatalistik tersebut.
Memang segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Tapi saya tidak ingin tergelincir menjadi menyalahkan takdir, karena salah satu jebakan syetan dalam perjalanan suluk adalah ‘meyalahkan’ takdir atas segala hal, termasuk dalam berdosa dan bermaksiat. Masalah takdir adalah masalah yang terlalu kompleks untuk dibahas pada level kita sekarang, karena sudah masuk ke dalam wilayah inti hakikat.
Di atas semua itu, tidak bisa kita lupakan bahwa Allah mewajibkan manusia berusaha dan bekerja. “… maka bekerjalah kamu, sesungguhnya Kami bekerja pula.” (QS 41:5); “Wahai Al-Insaan, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Q.S. 84:6).
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudaratan) dirinya sendiri” (QS. 4:111).
Yang membedakan manusia dari makhluk lain adalah ‘Aql (baik ‘aql jasadi/pikiran maupun ‘aql jiwa/fu’ad). Alat ini harus dipergunakan, demi tercapainya tujuan dari esensi penciptaan Insan. Jika seseorang ‘menyalahkan’ takdir semata, maka ia bisa jadi tidak mensyukuri dan menggunakan sarana yang diberikan-Nya ini dengan seoptimal mungkin. Tidak heran jika Allah memurkai mereka yang tidak menggunakan ‘aql nya. “Dan Allah menimpakan rijsa (keburukan) kepada orang yang tidak mempergunakan aql-nya.” (QS. 10:100).
‘Islam’ yang bermakna berserah diri, bukan berserah diri kepada takdir. Tapi berserah diri pada kehendak Allah atas diri kita. Yang sangat sulit, adalah mencari tahu apa kehendak Allah atas diri kita, apa yang Dia kehendaki untuk kita kerjakan, saat per saat. Ini jelas perlu kerja keras dan pemanfaatan potensi aql, baik aql lahir maupun aql batin.
Mengenai istilah ‘kafir’ yang bapak sebutkan, kalau saya akan cenderung sangat-sangat berhati-hati menyebut ‘kafir’ pada orang lain.
Jika kita lihat definisi ‘kafir’ dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
[Q.S. 18:101] “dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.” [Q.S. 18:102] “yaitu orang-orang yang matanya tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkannya: ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”
Jika orang dilahirkan dengan kondisi mata yang buta atau telinga yang tuli, apakah dia ditakdirkan menjadi orang kafir? Tentu tidak. Jika demikian, mata apa yang ditutup? Telingan mana yang tidak sanggup mendengar?
Kita lihat jawabannya di Q. S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah qalb yang ada di dalam dada.”
Dari definisi qur’an tersebut, yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama. Yang disebut kafir adalah mereka yang mata dan telinga di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kaffara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini diserab bahasa inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). ‘Kafir’ adalah mereka yang tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).
Dengan demikian, bahkan saya sendiri masih ‘kafir’ karena mata dan telinga yang ada dalam dada saya belum berfungsi dengan sempurna. Kalau saya pribadi , cenderung tak akan berani mengatakan orang lain sebagai kafir.
Terimakasih banyak atas komentarnya mas
Comment by Herry — Friday, February 17, 2006 @ 07:38
3. tentang masalah kafir, sebenarnya tidak ada “kafir” hakiki di dunia ini. karena setiap manusia sudah mempunyai iman. iman adalah dari Allah.
apakan anda ingat dengan ” alastu birobbikum, qolu balaa syahidna……”
sebelum roh di tiupkan ke jasad ….
lebih jelasnya baca buku “tariqoh rububiyah dan ubudiyah” 4 jilid. tapi buku ini tdk di jual bebas. buatan pesantren Ja-Tim
terima kasih
Comment by chamid — Saturday, February 18, 2006 @ 02:00
4. Saya kurang tahu mengenai buku tersebut. Tapi tentang makna kata kafir dan syuhada ada di posting yang ini.
Terimakasih banyak infonya.
Comment by Herry — Saturday, February 18, 2006 @ 03:41
5. sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas komentar mas Herry
perlu pembaca semua ketahui, yang saya paparkan di atas adalah Hakikat / esensi. dan hakikat adalah Allah. jika anda bandingkan / sangkal masalah takdir dengan ayat2 al-qur`an, anda salah. karena Al-qur`an bukan hakikat. dan Al quran itu juga termasuk makhluk, bukan hakikat.
” coba saudara renungkan. Apakah ada mahluk di dunia ini yang melampaui / menentukan takdirnya sendiri tanpa Kuasa ALLAH ????”
semua di dunia ini sudah terrencana oleh Allah, atau yang lebih kita kenal dengan takdir Allah.
kita ini hanyalah seumpama benda mati, tuli bisu buta. yang karena ke Agungan ALlah kita bisadi katakan hidup, mendengar, bicara dan melihat. jangan kan kita / Manusia, atom / dzarrah atau bahkan bagian terkecil dati atom / ion saja bergerak karena Allah yang berperan di balik semua itu. jadi KONYOL jika manusia bisa merubah takdirnya sendiri ( jgn di bantah dengan dalil qur`an, karena inilah hakikat ).. jadi jika kita di bandingkan dengan pohon, asap , debu bahkan kotoran sekalipun hakikatnya adalah sama—-la haulawala quwwata illabillahil aliyyil adzim.
Hakikat adalah Allah, sebagai tujuan ahir dari segala tujuan. memang paham ahli sunah mengajarkan : syariat, tarikot, dan hakikat. tapi kalo kita bisa sampai pada tujuan ahir / hakikat tanpa syariat dan tarikot knp juga harus susah2 melakukan syariat dan tarikot.
tolong sekali lagi, sebelum ada yang mau berkomentar ttg tulisan saya di atas. pahami dulu maksud tulisan tersebut.
Terima kasih buat mas Herry dan mohon maaf jika bahasanya kasar. karena aku adalah realita dari eksistensi perwujudan dan sifat2 tuhan yang tersirat dalam jalan takdirku.
wassalamualaikum..
Comment by chamid — Saturday, February 18, 2006 @ 12:39
6. Menanggapi Tulisan Mas Chamid mengenai manunggaling kawulo gusti sangat berbahaya sekali bahwa pengertian kalo kita berbuat salah itu juga karena Tuhan, apalagi bagi mereka yang pemahaman tentang agama masih sedikit seperti saya.. saya takut akan beranggapan kalau saya berdosa itu memang kehendak Tuhan. saya kira bukan begitu..
Takdir menurut Rukun Iman.. ada 2 yaitu Qodlo & Qodar, saya lupa bagaimana guru SMA saya dulu menjelaskan mengenai Qodlo & Qodar, namun saya ingat cerita mengenai Umar ibn Khattab ketika akan memasuki suatu daerah dimana daerah tersebut terjadi wabah penyakit menular dan beliau mengurungkan niatnya untuk memasuki daerah tersebut.
Seorang sahabat lain bertanya “kenapa engkau tidak mau masuk ke daerah tersebut kalau memang tidak ditakdirkan menderita sakit tentunya engkau tidak akan sakit.”
Umar menjawab “aku mencari takdir yang lebih baik” bukankah ini jelas bahwa Takdir itu “aktif”
jika memang pengertiannya bahwa manusia itu tidak bisa apa-apa kecuali Allohyang menggerakkan berarti begitu juga dengan makhluk alloh yang lain.. jadi pasti ada istilah “manunggaling kewan gusti”, “manunggaling bumi gusti”, “manunggaling yang lain-lain gusti”
dahulu ketika awal kegelisahan untuk pencarian kepada yang Haq.. saya sempat bergaul dengan kejawen membaca kitab gotoloco, wedhatama, bahkan laku-laku kejawen, juga mendapati istilah-istilah yang semacam diatas… namun saya dapati pengertiannya masih banyak menimbulkan keragu-raguan pada diri saya.
dan akhirnya ketemu saya tasawuf dan akhirnya bertariqah dibawa bimbingan mursyid.. dan mulai saya mencari relevansi istilah-istilah dari kejawen dengan kajian tasawuf.
jadi menurut saya “manunggaling kawulo gusti” mirip dengan pengertian “wahdatul wujud” tapi ini adalah kondisi jiwa mereka yang fana atau baqa.
nah kalo kafir .. kita semua kafir kalo nggak ketemu DIA..
ilahi anta maksudi waridloka matlubi
Comment by C. Gunawan — Sunday, February 19, 2006 @ 11:38
7. menanggapi tulisan mas chamid, terutama petikan kata berikut ini:
“Hakikat adalah Allah, sebagai tujuan ahir dari segala tujuan. memang paham ahli sunah mengajarkan : syariat, tarikot, dan hakikat. tapi kalo kita bisa sampai pada tujuan ahir / hakikat tanpa syariat dan tarikot knp juga harus susah2 melakukan syariat dan tarikot.”
saya pribadi agak merinding membacanya.
bagaimana bisa seseorang mencapai sebuah hakikat, sesuatu yang menjadi ujung pencarian manusia memang. kalau tidak menapaki tangga syariat, thariqat dan ma’rifat.
dan tangga itu rasanya masih harus terus ditapaki, sebagaimana sang Nabi kita Rasulullah SAW yang satu2nya dan hanya satu figur utama cerminan buat kita masih tetap menjalankan syariat lahirnya hingga Allah mewafatkannya.
bagaimana mungkin para umatnya bisa mencapai sesuatu yang melebihi apa yang telah dicapai oleh Nabi kita.
tentang manunggaling kawula gusti, tanggapan tulisan mas herry, gusti itu, sepemahaman saya adalah ruh al-quds, bukan jiwa muthmainah….
Comment by kuswandani — Monday, February 20, 2006 @ 13:52
8. Anda benar, mas Kus. Dalam pengertian yang lebih sederhana, memang ‘manunggaling kawulo-gusti’ adalah jasad yang sudah tunduk pada jiwa mutma’innah nya.
Tapi dalam level pengertian yang lebih dalam, memang sebenarnya jasad dan jiwa mutma’innahnya yang telah tunduk pada Ruh Al-Quds. Hanya saja masalah Ruh Al-Quds ini agak sulit membahasakannya.
Terimakasih banyak masukannya.
Comment by Herry — Monday, February 20, 2006 @ 14:06
9. mengenai manunggaling kawulo gusti.
yang di maksud “kawulo” di sini bukan perorangan / manusia saja. yang di maksud kawulo di sini adalah semua mahluk Allah swt, baik yang di katakan hidup / mati. jadi istilah manunggaling kewan gusti, manunggaling bumi gusti DLL hanyalah spesifikasi dari “Manunggaling kawulo gusti”
alasannya karena “Kullu maujudin siwa Allah Adam, wakullu adamin mahluq”
jadi kawulo di sini bukan hanya manusia saja, tetapi meliputi mahluk Allah yang laen, baik yang hidup / yang mati.
terima kasih
wassalamualaikum………..
Comment by chamid — Tuesday, February 21, 2006 @ 01:50
10. menanggapi lagi tulisan mas chamid, dalam petikannya:
jika misalnya saya melakukan sholat, esensinya itu juga Allah yang
menggerakkan, jika saya melakukan maksiat Hakikatnya itu juga Allah yang
menggerakkan. karena hakikatnya Aku adalah Tidak ada dan tidak punya
apa2. semua adalah Allah “waidza aroda syaian an yaqula lahu kun fayakun”
( Rukun Iman ke 6 : percaya pada takdir baik dan buruk. jika seumpama
saya rajin sholat, beribadah kpd Allah berarti Allah menakdirkan baik
kepada saya, dan begitu juga sebaliknya)
ini membuat saya merinding juga.
jika maksiat manusia hakekatnya Allah yang menggerakan, maka ketika diciptakan neraka untuk pembersihan, khawatir orang2 kemudian memahaminya, lho kok manusia berbuat salah yang hakekatnya Allah yang menggerakan, tapi kok dimasukkan ke neraka? Allah gak adil dong….. dan buat apa sebenarnya neraka dan surga itu tercipta kalau semua gerak manusia bersumber “hakekat”nya dari Allah?
saya pribadi menilai konsep semua hakikat datang dari Allah, semua langkah kaki, gerak tangan, isapan nafas, kerling mata dan seterusnya Allah sebagai hakikat tertinggi yang menggerakkan. tidak ada peran manusia di situ…….. ini benar bagi mereka yang telah memasuki jenjang kualitas penghambaan yang telah mencapai puncaknya. kalau dalam konsep tasawuf lain ini ditujukan kepada mereka yang telah menemukan ‘rasul’ dalam dirinya. yang tangannya adalah tangan Allah, matanya mata Allah, gerakannya adalah gerakan atas kehendak Allah.
tapi…. tapi bukan kepada setiap manusia……
seseorang berbuat maksiat maka yang menggerakan orang itu berbuat adalah bersumber dari dirinya sendiri….. mohon dibuka ayat quran, (hanya sebagai penguat saja, walaupun itu memang makhluq Allah juga tapi sesuatu yang suci) yang berbicara tentang, ketika seserorang berbuat baik maka itu datang dari Allah, dan sebaliknya ketika seseorang melakukan kejahatan maka itu dari dirinya sendiri….. insya Allah mas chamid sudah hapal dengan ayat ini….
dalam konsep yang saya yakini hari ini…. seseorang -dalam bahasa ekstrimnya- harus menjadi qadariyyah dulu, semua berawal dari kehendak diri, kehendak manusia, ingin mencari Allah atau tidak, ingin mengenal Allah atau tidak, ingin dapat memahami hakikat hidup atau tidak….. lalu Allah menyambut para hamba yang ingin mengenal-Nya, hingga suatu saat. -sebuah hadis qudsi menyebutkan- ketika seseorang sudah mengabdi dengan baik, sudah melaksanakan ibadah sunnat dengan baik, maka Allah akan menyambutnya, menjadi tangannya, menjadi telinganya, menjadi langkah kakinya kemanapun dia pergi…. jadilah dia sebagai seorang yang jabariyyah…. semuanya, hakekatnya pada dasarnya adalah Allah semata yang Maha Tunngal yang Maha Menggerakan Yang Maha berkuasa…… Hakekatnya semuanya bersumber dari Dia Ta’ala semata……
wallahu a’lam bish-shawab.
Comment by kuswandani — Tuesday, February 21, 2006 @ 11:14
11. ana al haqq. apa yang diucapkan hallaj itu mahabenar. dia sebenarnya tidak sedang berproklamasi, melainkan sedang membaca al qur’an. pada surat apa kalimat itu terdapat, saya tidak akan beberkan di sini. silakan temukan sendiri. yang jelas, arti ayat itu menurut terjemahan depag adalah “Akulah kebenaran, dan segala perkataanKu adalah kebenaran.”
alif malik,
bcb depok
Comment by alif — Wednesday, February 22, 2006 @ 10:11
12. Sebenarnya akan jauh lebih bermanfaat jika ayat tersebut dicantumkan… itu ayat yang mana ya?
Comment by Herry — Wednesday, February 22, 2006 @ 10:16
13. untuk mas kuswandani,
jadi apakah maksud mas ini, kalo kebaikan dari Allah sedangkan kejahatan dari manusia itu sendiri????
lebih jelasnya lagi tolong baca buku “suluk syeh siti jenar” 6 jilid. dengan pengantar KH Mustofa Bisri.
…begitu banyak orang berpendapat tentang Aku, Tapi aku adalah rahasia Ku. dan aku adalah milik KU
Comment by chamid — Thursday, February 23, 2006 @ 00:47
14. hehehe… kok pada rame soal manunggaling kawulo gusti dan ana al haqq sih. kalian ini kayak anak kecil. semuanya masih sibuk mengukur panjang garis pantai dan menebak indahnya samudra dari kejauhan. mana bisa?
kalian cuma orang2 sok benar. punya satu mulut tapi banyak mulut. punya gelas ukur tapi gak pernah minum.
udah deh, damai aja. kalau mau tau soal kebenaran yang hakiki, mau comot ayat apa saja juga bisa buat nerangin. dg ayat bismillaahirrahmaanirrahiim saja, kita bisa belajar tentang ahadiyah sampai insan kamil, tentang segala aneka ruh, tentang surga neraka, tentang reinkarnasi, tentang bulu sampai sumsum. gitu aja kok ribut. maunya semua benar ya?
yeee… anak kecil! kagak pantes ngomongin ana al haqq. masih pada mau benernya sendiri…
candra/alif malik, — kyai kirik. kagak butuh surga, kagak takut neraka –
bcb depok, 0812-263-6135
—————————-
ini hadiah kecil buat kalian yang suka tengkar. hehehe. sebuah puisi kecil:
Adaku Tiada
Allah, aku kesepian
Dalam sendiriku, yang ada hanya Engkau
Di mana aku, tak perlu lagi ditanya
Di mana Engkau, tak usah lagi dijawab
Sepiku SendiriMu
SepiMu sendiriku
Allah, aku sunyi
Dalam diamku, tiada ucap selain namaMu
Tak ada yang sentuh heningku
Tak ada yang jangkau sepiMu
Aku dalam selaput Rahasia Dikau
Allah, aku sedih
Dalam pedihku, perpisahan kuratapi
Dalam perihku, perjumpaan kudambai
Duka ini abadi
Kurindu RinduMu, kucinta CintaMu
Allah, aku binasa
Daku tiada ada selain sirna
Diriku lenyap, DiriMu senyap
Musnah sudah segala wajah
Maha Agung Engkau
Dzat Yang Ada Awal Kekal
Depok, 17 Ramadan 1426 H
Alif Malik
Comment by alif — Thursday, February 23, 2006 @ 12:41
15. Salaam, sahabat-sahabat.
Sungguh saya tidak mengharapkan blog ini jadi ajang perdebatan. Oleh karena itu, saya mengharapkan komen yang dikirim adalah komen yang santun, dengan argumen yang jelas.
Banyak komen yang masuk, jika hanya sekedar ‘kalian seperti anak kecil, kayak saya doong’ atau kata-kata keras dengan tiga atau empat tanda seru, atau hanya sebuah komen tapi tanpa landasan dan alur berfikir, tentu tidak akan saya muat. Silahkan bikin forum sendiri saja kalau mau
After all, bukan itu tujuan blog ini. Sementara all comments saya moderasi.
Oh ya, tentu saja saya bukan ahli ma’rifat… saya belum mengenal Dia… itu jelas. Mohon maaf kepada sahabat-sahabat yang kebetulan lebih memahami persoalan ma’rifat, Manunggaling kawulo gusti dan lain sebagainya, jika ternyata saya masih bodoh dan hanya orang sok tahu, karena memang saya hanya seorang yang sedang belajar. Terimakasih atas sedekah ’sok tahu’nya..
Anyway, terimakasih juga atas segala komen yang disampaikan maupun atensinya.
Semoga kita senantiasa diajari-Nya pengetahuan yang benar…
Oh ya, buat sahabat-sahabat yang meminta pembaca untuk sebaiknya belajar ilmu tentang ma’rifat kepada anda dan meminta saya untuk memuat nomor hp/alamat emailnya di sini supaya bisa dihubungi, beritahu saja saya. Sementara ini tidak saya cantumkan karena saya khawatir e-mail anda akan dipenuhi spam (lewat automatic tracker), atau hp anda akan penuh dengan message yang mempertanyakan persoalan tersebut.
Tapi jika memang sudah yakin, beritahu saya saja, mungkin saya akan memuat nomor hp dan alamat anda di sini.
Comment by Herry — Thursday, February 23, 2006 @ 13:42
16. maaf kalau salah, mengenai manunggaling roso, tercantum di hadis tentang AKUnya AKU, kemudian datangnya NABI KIDIR yg akan membunuh manusia yg tidak tidak ketemu AKUnya AKU
Comment by hadi hermawan — Friday, March 3, 2006 @ 13:08
17. Salud Mas Chamid..
Saya sangat setuju dgn pendapat anda.. tp ada yg agak beda menurut pandangan saya. saya jg mencoba memakai bahasa hakikat. Sifat manusia pd hakekatnya adalah pencerminan sifat Allah meski dlm kadar minimalis. Wujud qidam baqa dst itu terdapat jg di manusia. Menyangkut hal ini seyakin2nya manusia diberi sifat “kun faya kun” atas dirinya… kemana dia mau melangkah maka melangkahlah dia.. Allah selalu meridhoi / mengijinkan hambanya untuk bertindak. Namun tindakan ini adalah tanggungjawab masing2 individu. apapun hasilnya hrs dipertanggungjawabkan oleh masing2.
Kalimat “la haulawala quwwata illabillahil aliyyil adzim” sesungguhnya hanya penggambaran kepasrahan seseorang dlm melangkah. Tentunya hrs ada kesemangatan dlm kepasrahan itu. Soal hasil urusan belakangan yg penting saya berusaha sekuat mungkin.
Soal tulisan anda : “Hakikat adalah Allah, sebagai tujuan ahir dari segala tujuan. memang paham ahli sunah mengajarkan : syariat, tarikot, dan hakikat. tapi kalo kita bisa sampai pada tujuan ahir / hakikat tanpa syariat dan tarikot knp juga harus susah2 melakukan syariat dan tarikot.” ini saya setuju namun ada yg kurang mungkin.. ada 5 langkah : syariat, tarekat, makrifat, hakekat dan karomah. hal ini adalah paket dalam hidup. jika dijalankan 1-1 akan pincang. ada analogi buat 5 langkah itu. Syariat, tarekat, makrifat, hakekat dan karomah dianalogikan membaca, melakukan, merasakan, menyimpulkan dan menyempurnakan. contoh gini : ada roko merk X. ga bisa tiba2 menyimpulkan roko X itu begini. aturan mainnya adalah dibaca dulu, dibuka bungkusnya lalu dibakar, diisep, oh.. rasanya gini dan terakhir sempurna sdh siklusnya dan bisa disampaikan ke orang lain. orang2 disyareat kebanyakan adalah hanya membaca dan merasa dah sempurna padahal blom tau jalannya apalagi tau rasanya. gambaran sederhana saja.
Kembali ke topik awal. inti penekanan ada di “Dalam tradisi puisi sufi, Gusti, atau Raja dengan huruf besar menyimbolkan Allah. Sedangkan ‘gusti’, atau ‘tuan’ dengan huruf kecil, menyimbolkan jiwa yang telah suci dan tenang (nafs muthma’innah) yang memimpin dan menjadi tuan bagi sang raga untuk menuju Allah”
Ada kalimat yg menyatakan (menyadur post Mas Chamid) ” ” alastu birobbikum, qolu balaa syahidna… sebelum roh di tiupkan ke jasad …” kutiupkan sebagian RuhKu
Ada lg kalimat “Aku tak jauh dr urat lehermu”
Dr kalimat2 diatas artinya ada 3 objek.
- Kutiupkan = ada yg meniup = Allah
- Sebagian RuhKu = Rohulloh / Ruh buat menghidupkan manusia sebut saja jiwa yg suci ato hati nurani ato kata hati dll
- Urat lehermu = ada wadah tempat tampungan Ruh
Maka bs disimpulkan dalam Aku ada Allah. Allah disini perwakilan Allah dlm bentuk jiwa yg suci. dia tdk berkata bohong. salah ya salah, benar ya benar, akal pikir yg jahil saja yg menawar2 untuk bertindak ngawur.
Melihat jabaran diatas mungkin akan mirip dgn paham Trinitas Nasrani. mrk sesungguhnya tdk memecah Allah jd 3. tp 3 dlm 1. cuma masalah pemakaian bahasa saja yg bikin ricuh.
demikian pendapat saya. mohon maaf bila terkesan menggurui. tak ada maksud sedikitpun. mohon masukan dan koreksinya..
Comment by Freemind — Friday, March 3, 2006 @ 15:28
18. memahami apa yang telah diucapkan oleh al-Hallaj dan syekh siti jenar mengenai”ana al-haq”bukan lah kata yng mudah untuk diucapkan namun butuh perjuangan yang tak kalah berat rintangan yang mereka hadapi.kesenangan dunia ditinggalkan nafsu di kesampingkan.kita manusia biasa, kebanyakan tak memahami hakikat dari katkata itu.mereka yang telah mencapai derajat ma’rifatullah mengucapkan kata itu disaat menyatu dengan Allah (hulul), kita tak berhak membuat pernyataan mereka salah tidak justru kita yang salah kita terlalu gegabah menafsirkan perkataan orang lain sementara kita manusia penuh dosa,perut masih penuh dgn makanan haram, rumah dipenuhi harta korupsi di masnyarakat mengaku suci.hanay mereka yang sudah mencapai tingkat hakikat lah yang mampu merasakan kenikmatan pertemuan.
mungkin cukup samapai disini dulu lain kali saya akan lanjutkan lagi.
semoga ada manfaatnya.
Comment by Siswadi — Thursday, April 13, 2006 @ 00:17
19. ah ada g jd kepikiran ma tmn g..dia nanya sepatu g dari kulit apa plastik , g bilang dari kulit..dia nanya lagi kulit apa , g bilang ga tau..dia bilang kok ga tau kan tiap ari lu pake..ah banyak yang g ga tau pohon yang tiap ari g lewatin aja kaga g tau jenisnya..orang 2 yang ktm dijalan g ga tau namanya..sampe makanan yang udah lewatin mulut g gue ga tau prosesnya…dah dilambung apa diusus..g ga tau berapa harus g kasih vitamin ke rambut g ..ah banyak yang g ga tau..yang wujud2 g ga tau..g heran banyak yang bicara mslh gaib..dan lebih parah tentang Allah SWT..pdhl dah jelas lihat perbuatannya..lihat perbuatannya jgn membahas zatnya..ah..hebatnya manusia sekarang..
wallahu’alam
Comment by firdaus — Tuesday, June 27, 2006 @ 16:56
20. kecermatan dan kehati-hatian diperlukan untuk menjelaskan ungkapan ungkapan sufi.
salam
Comment by obifan — Monday, July 3, 2006 @ 09:11
21. Salam,
Maaf apabila saya ingin pula menyumbang sebuah pemikiran yang masih awam.
Menurut saya istilah manunggaling kawulo gusti adalah meniadakan sosok manusia itu menjadikan sebuah kehampaan diri yang tampak hanyalah Allah semata, jika kita lihat dari segi penciptaan, manusia tercipta atas rahmat Allah, tumbuh atas rahmat Allah, dapat berbicara atas kehendak Allah, dapat melihat atas kehendak Allah, mendengar atas kehendak Allah, hidup dan bernafas atas kehandak Allah, dan manusia tak memiliki satu apapun di dunia ini melainkan Allah Yang Maha Memiliki, manusia tak memiliki hak apapun, maka dari itu hidup manusia ini juga bukan milik dirinya, bagaimana manusia dapat menyebut bahwa dirinya itu ada dan mempunyai hak? Bagaimana manusia itu dapat menyebut bahwa manusia dapat menghidupi dirinya sendiri?
Allahlah satu-satunya yang berkuasa dan berhak menyebut bahwa Allah benar-benar ada. Manusia adalah seogok daging yang lemah, lumpuh, tak berdaya dan mati. Allah telah menghidupkannya, Allah telah meminjamkannya Ruh-Nya dan itu bukan hak dan milik kita. Semua yang ada didunia ini adalah milik-Nya. Kita tak berhak mengatakan bahwa kita memiliki sesuatu. Hidup kita adalah milik-Nya dan kita tidak berhak untuk mengambil dan memilikinya. Kita hanya diwajibkan menjaga milik-Nya.
Maka dari itu apakah kita masih bisa berkata bahwa kita itu ada, bahwa kita itu exsis, bahwa kita itu berhak? Kita adalah sebuah kekosongan, dan yang hidup hanyalah Allah. Maka kembalikanlah diri kita Allah. Kembalikanlah Ruh kita kepada Allah dengan bersih sama ketika kita diberikan pinjaman Ruh yang suci oleh-Nya. Maka disaat kita telah siap untuk mengembalikan Ruh kita kepada Allah saat itu kita akan merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Semoga pendapat saya dapat mengupas tentang pertanyaan Siapakah Saya? dan Siapakah Allah? Dapatkah Manunggaling Kawulo Gusti?
Comment by Ario — Tuesday, August 8, 2006 @ 10:14
22. Asslm. wr wb
Yang menjadi masalah dalam Ana Al-Haq nya Al-Hallaj karena dia berkata :
“Ana Al-Haq, Laa ilaaha illa Ana”
artinya :
Akulah Al-Haq, Tidak ada sesembahan selain Aku!
inilah yang menjadi polemik hebat Al-Hallaj sehingga mati di kayu salib.
Buat aku sendiri , Ana Al-Haq Al-Hallaj dapat berarti :
- Al-Hallaj fana, dan menyaksikan Kebenaran, lalu dia berujar tanpa dia kehendaki tp Tuhan yg menghendaki (syatahat)
- Al Hallaj fana, dan menyaksikan hakikat , dan hakikat itu berkata Ana Al-Haq, Laa ilaaha illa Ana
- Al Hallaj mendapat manifestasi Sifat Allah Al-Haq, dibawah cahaya manifestasi itu dia berkata Ana Al-Haq.
Hal lain , paham Lahut dan Nasut dari Al-Hallaj menjadi polemik. Mirip dengan Tuhan Bapa dan Tuhan Yesus dalam Kristus.
Ibnu Arabi` mengatakan bahwa Al-Hallaj adalah Wali/Santo yang berada dalam wilayah kekuasaan dan mewarisi spirit kenabian Isa Al-Masih. Itu lah mengapa ucapan dan tindakannya sangat mirip dengan Isa Al Masih.
Mungkin pertanyaan kenapa Kristen men-Tuhan-kan Isa Al-Masih, bisa jadi pula terjadi karena perilaku dan sikap Isa AL-Masih yang mirip dengan Al-Hallaj ini, dan disalah artikan oleh murid muridnya, dan di-Tuhan kan.
Comment by hilmanfs — Wednesday, August 9, 2006 @ 06:34
23. Saya menerima komentar-komentar spam, komentar yang mengajak pengunjung untuk mengklik link tertentu ke kolom komentar di sini supaya pengunjung mengklik link tersebut sehingga pengirim (mas chamid) bisa mendapatkan laptop gratis.
Pertama, saya tidak mentolerir spam.
Kedua, saya sedikit kecewa karena pengirimnya dan identitas protokol internetnya adalah milik chamid (anda pernah meminta saya memuat nomor hp dan alamat mail anda, dan menganjurkan supaya semua pengunjung belajar makrifat dan tarekat pada anda… masak masih tertarik laptop gratisan dengan cara spamming…)
Sayang sekali. Reputational Suicide. Definitely banned.
Comment by Herry — Sunday, August 13, 2006 @ 13:01
24. Assalamu Alaikum
saya ingin sedikit menyumbangkan pendapat dan pemikiran saya mengenai hal-hal diatas taruhlah masalah tasawuf dengan kalimat sederhana. sebelum teman/saudara2 sekalian membicarakan masalah tasawuf, sebaiknya selidiki/kaji dulu darimana dan apa tujuan dari tasawuf itu sendiri ini sangat penting agar saudara2 yang ingin memasuki dunia tasawuf tidaklah menyimpang kalo nggak mau dibilang sesat atau tersesat.
perlu diketahui setelah generasi pertama sebagian kaum sufi (yang mrk itu ahli dalam tafsir Al-Qur’an, ahli hadits dan ilmu fiqh dll) maka sebagian mereka itu menyimpang dari syariat bahkan dicap sesat dan menyesatkan. banyak diantara mereka dihukum mati oleh ulama2/pemerintahan pada zamannya karena dianggap membahayakan Islam itu sendiri diantaranya al-hallaj dan al harits.
saya ingin menanggapi mas chamid dan orang2 yang sepaham dengannya. maaf kalo saya memvonis bahwa orang2 seperti mas chamid itu telah jauh menyimpang kalo nggak mau dikatakan sesat dan sangat berbahaya bagi orang2 awam yang masih belum banyak tau masalah2 seperti ini.
saya berharap semoga ALLAH Azza Wajalla menunjukinya kepada jalan-Nya yang lurus dan agar mas chamid dan orang2 yang sepaham dengannya bisa segera bertobat dan kembali ke jalan-Nya yang lurus sebelum terlambat. untuk lebih baiknya silahkan saudara2 membaca buku “perangkap syetan (talbis iblis)” karangan seorang ulama besar Ibnul jauzy (bukan ibnu Qayyim al-jauziyyah) sebelum memasuki/mempelajari tasawuf.
Para ulama hingga saat ini banyak yang mencela sebagian yang mengaku kaum sufi karena penyimpangan2 mereka terhadap syariat mungkin karena ketidaktahuan mereka atau mungkin juga karena mereka yang nggak mau belajar ilmu2 Islam yang wajib dipelajari. Dan salah satu penyakit (talbis iblis) dari sebagian orang2 yang mengaku sufi adalah mereka tidak mau mempelajari ilmu2 syariat dan menganggap ilmu syariat itu hanya kulit bukan isi tidak penting, yang penting adalah isinya, yang penting adalah rasa, yang penting adalah hati, yang penting adalah pengetahuan dibalik alam nyata yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Siapa yang beranggapan seperti ini (saya yakin banyak dan memang banyak saya temui yang seperti ini bahkan dari orang yang mengaku sebagai guru2 tasawuf) maka bukanlah dia mengatakan seperti ini melainkan krn kebodohannya.
Rasulullah adalah suri tauladan dan yang harus diikuti begitu juga para sahabat, tabi’in, tabiit tabi’in yang menempuh jalan yang lurus yang mereka oleh Allah dimuliakan didunia dan diakhirat siapa yang mengikuti mereka maka dia adalah golongan yang selamat sebab mereka adalah orang2 yang mengikuti Al-Qur’an dan As-sunnah yang shahih.
Siapa yang ingin mengharap wajah-Nya maka ikutilah mereka dan mereka adalah orang2 yang paling kuat dalam menjalankan syariat tidak ada orang yang lebih baik dari mereka setelah zaman mereka (3 generasi terbaik yang diisyaratkan Rasulullah) menurut pendapat saya (kalo benar itu datangnya dari Allah dan kalo salah itu datangnya dari diriku dan dari syetan) tidaklah orang membicarakan masalah hakikat kecuali hanya menambah kesalahan dan penyimpangan sebab hakikat itu tidaklah bisa di utarakan dengan kata2 tapi itu dirasakan oleh orang yang memang telah menduduki level itu dan hanya orang yang bersangkutan dan Allah saja yang mengetahuinya dan orang2 yang selevel atau diatas mereka. Jika ada orang yang mencoba membicarakan/membahas tentang hakikat kepada orang yang belum sampai apalagi orang awam yang belum tau apa2 maka akan sangat sangat berbahaya sekali bagi orang awam tersebut sebab akan menyesatkan mereka.
orang2 yang mencapai ma’rifat diketahui dari semakin kuatnya, banyaknya, khusyu’nya dan dalamnya ibadah dan pengetahuan mereka tentang ilmu2 syariat dan semakin besarnya rasa takutnya kepada Allah Tabaraka Wata’ala.
itulah tharikat yang benar, selain dari ini maka itu jalan yang salah.
saya menghimbau saudara2 untuk lebih mempelajari ilmu2 yang wajib dipelajari bagi umat Islam karena ilmu ini tidak bakalan pernah habis untuk dipelajari tidak usahlah membuang2/menghabiskan waktu dalam masalah2 yang tidak terlalu penting untuk dibahas. Ikutilah al-Qur’an dan As-sunnah yang shahih karena itu sudah cukup janganlah kalian mencari yang lain dari ini sebab kalian tidak akan pernah menemukan kebenaran dan tidak akan pernah sampai kepada Allah pencipta alam semesta beserta isinya jika tanpa melewati Al-Qur’an dan as-sunnah.
Siapa yang mengikuti Al-Qur’an dan As-sunnah karena mengharap wajah-Nya maka insya Allah akan mendapat petunjuk dari-Nya.
Comment by cakra — Sunday, August 13, 2006 @ 16:19
25. Untuk menjawab pertanyaan arti kalimat:
“yaa illahi anta maksudi wa ridhoka mathlubi”
“Yaa Illahi, engkau yang kumaksud, Ridho-Mu yang kuikut.”
Pada posting-posting komen di atas, maksud kalimat ini adalah:
Tak ada harapan lain, Kecuali Ridho-Nya.
Comment by Herry — Monday, August 14, 2006 @ 02:04
26. Assalamualaika Rahima Qumullah..
Kepada yg sedang mencari apa yg dicari dan ketemu apa yg henak ditemukan, mentelaah lah akan diri kamnu sendiri akan Nafas kita yg sedut keluar masuk dan di sedut lagi oleh manusia laoin di dunia ini tak kira apa bangsa dan kaum dan pangkat dan darjat , kesemuanya menghirup Udara yang sama setiap hari…..tak kira dimana kita berada di bumi Indonesia kah atau Malaysia kah Atau di Tanah Suci Kah Atau di Khutub Utara kah kesemuanya menyedut kan dan menghembuskan Udara Oksigen yg sama…Lai Sya Qamislihi Syain Un ( Akui Meliputi Sekalaian Alam,) Firman Allah swt, Jika tidak dengan urusan nya dan ketentuan takdir nya lagi Rahman dan Rahim nya . huru hara lah bumi ini….Renungkan nlah Wassalamun
Comment by hayatul_haiyun — Friday, November 10, 2006 @ 11:01
27. ini ada sebuah tulisan yang mungkin bisa jadi perenungan teman teman sekalian. saya ambil dari Soeprie
Perjalanan Mencari Yang Haq
Jumat Februari 16th 2007, 3:03 adalah
Ada dua jalan yang ditempuh orang dalam mencari yang haq dengan masing-masing dalilnya :
Man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu
Barang siapa mengenal dirinya maka pasti dia akan kenal Tuhannya. (Dalil ini yang sangat populer dikalangan sufi, meditator , filosof, teolog)
Man `arafa rabbahu faqad `arafa nafsahu
Barang siapa yang kenal Tuhannya pasti dia akan kenal dirinya.
Pada jalan pertama, biasanya di lakukan oleh para pencari murni, mereka belum memiliki panduan tentang tuhan dengan jelas. Dia hanya berfikir dari yang sangat sederhana …yaitu ketika ia melihat sebuah alam tergelar, muncul pemikiran pasti ada yang membuatnya atau ada yang berkuasa dibalik alam ini, … mustahil alam ini ada begitu saja … dan alam merupakan jejak-jejak penciptanya … Dengan filsafat inilah orang akhirnya menemukan kesimpulan bahwa Tuhan itu ada.
Sebagian meditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan filsafat ini dalam mencari Tuhan, yaitu tahapan mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya mengenali hatinya dan suasananya, pikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia bisa membedakan dari mana intuisi itu muncul, … apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau dari luar dirinya…
Akan tetapi penggunaan jalur seperti ini sering kali membuat orang mudah tersesat, karena pada tahapan-tahapan wilayah ini manusia sering terjebak pada ‘kegaiban’ yang dia lihat dalam perjalanannya, … yang kadang-kadang membuat hatinya tertarik dan berhenti sampai disini, karena kalau tidak mempunyai tujuan yang kuat kepada Allah pastilah orang itu menghentikan perjalanannya …. Karena disana dia bisa melihat fenomena / keajaiban alam-alam dan mampu melihat dengan kasyaf apa yang tersembunyi pada alam ini … akhirnya mudah muncul ‘keakuannya’ bahwa dirinyalah yang paling hebat …akan tetapi jika dia kuat terhadap Tuhan adalah tujuannya, pastilah dia selamat sampai tujuannya…..
Teori yang dilakukan tersebut adalah jalan terbalik, karena dalam pencariannya ia telusuri jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkannya (melalui ciptaan / alam), … ibarat seseorang mencari kuda yang hilang, yang pertama di telusuri adalah jejak tanda kaki kuda, kemudian memperhatikan suara ringkik kuda dan akhirnya di temukan kandang kuda dan yang terakhir dia menemukan wujud kuda yang sebenarnya ….Hal ini sebenarnya sangat menyulitkan para pelaku pencari Tuhan, … karena terlalu lama di dalam mengidentifikasi alam-alam yang akan di laluinya ….
Dalil yang ke dua : adalah melangkah kepada yang paling dekat dari dirinya …yaitu Yang Maha Dekat, … langkah ini yang paling cepat di tempuh dibanding dalil pertama… Karena dalil pertama banyak dipengaruhi oleh para filosof pada jaman pertengahan dalam hal ini filsafat Yunani. Teologi Kristen dan Hindu telah banyak mempengaruhi filsafat ini. sehingga Al Ghazali gencar mengkritik kaum filosof dengan menulis kitab tentang tidak setujunya dengan ide filsafat masa itu yaitu Tahafut Al Falasifah / kerancuan filsafat ….
Alghazali membantah pemikiran yang dimulai dengan rangkaian berfikir terbalik, … beliau mengajukan gagasan bahwa ummat islam harus memulai pemikirannya dari sumber pangkal ilmu pengetahuan yaitu Tuhan, bukan dimulai dari luar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, artinya sangat berbahaya karena di dalam filsafat memulai berfikirnya dari tahapan yang real menuju esensi dibalik semuanya berasal. Sedangkan di dalam Islam menunjukkan keadaan Tuhan serta jalan yang akan di tempuh sudah di tulis dalam Alqur’an agar ummat manusia tidak tersesat oleh rekaan-rekaan pikiran yang belum tentu kebenarannya…
Pencarian kita telah di tulis dalam Alqur’an dan Allah menunjukkan jalannya dengan sangat sederhana dan mudah …tidak menunjukkan alam-alam yang mengakibatkan menjadi rancu dan bingung … karena alam-alam itu sangat banyak dan kemungkinan menyesatkan kita amat besar…
Mari kita perhatikan cara Tuhan menunjukkan para hamba yang mencari Tuhannya .
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perinta-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan menusia dan mengetahui apa yang di bisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Al Qaaf: 16)
Ayat-ayat diatas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai wujud yang sangat dekat, dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Alqur’an mengungkapkan jawaban secara dimensional dan dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar, dimanakah Allah ? Maka Allah menjawab: Aku ini dekat, kemudian jawaban meningkat sampai kepada, Aku lebih dekat dari urat leher kalian .atau dimana saja kalian menghadap di situ wujud wajah-Ku…dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu ….
Sebenarnya tidak ada alasan bagi kita jika dalam mencari tuhan melalui tahapan terbalik…
Pada tahap pertama beliau nampak alam dan segala kejadian adalah satu bersama Allah. dan pada tahap kedua nampak alam sebagai bayangan Allah; dan pada tahap ke tiga beliau nampak Allah adalah berasingan dari pada segala sesuatu di alam ini. Kalau hal ini hanya sebatas penjelasan terstruktur kepada muridnya, saya anggap hal ini tidak menjadi persoalan, … akan tetapi jika tahapan-tahapan ini merupakan methodology dalam mencari tuhan, … saya kira ini berbahaya, karena yang akan berjalan adalah fikirannya atau gagasannya, … yang akhirnya timbul khayalan atau halusinasi.
Di dalam islam memulainya dengan pengenalan kepada Allah terlebih dahulu yaitu dengan dzikrullah (mengingat Allah), … kemudian kita di perintah langsung mendekati-Nya, karena Allah sudah sangat dekat..tidak perlu anda mencari jauh-jauh melalui alam-alam yang amat luas dan membingungkan ..alam itu sangat banyak dan bertingkat-tingkat. Tidak perlu kita memikirkannya…cukupkan jiwa ini mendekat secara langsung kepada Allah … karena orang yang telah berjumpa alam-alam belum tentu ia tunduk kepada Allah, karena alam disana tidak ada bedanya dengan alam di dunia ini karena semua adalah ciptaan-Nya !!
Akan tetapi jika anda memulai dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, maka secara otomatis anda akan diperlihatkan / dipersaksikan kepada kerajaan Tuhan yang amat luas. Maka saya setuju dengan dalil yang kedua, barang siapa kenal Tuhannya maka dia akan kenal dirinya. Sebab kalau kita kenal dengan pencipta-Nya, maka kita akan kenal dengan keadaan diri kita dan alam-alam dibawahnya, karena semua berada dalam genggaman-Nya…karena Dia meliputi segala sesuatu …karena Dia ada dimana saja kita ada, … dan Dia sangat dekat.
Betapa rumitnya perjalanan yang dilalui oleh Eckankar, seperti apa yang yang saya tulis pada bab Membuka hijab….dan bagi yang tidak kenal Alqur’an akan mudah sekali berhenti dan tersesat kepada alam-alam itu …karena intuisi itu amat banyak yang muncul dari segala suara alam-alam tersebut (tolong anda baca tahapan spiritual yang di tulis pada bab Membuka hijab, karena akan membantu penjelasan saya ini )
Kesimpulan :
Islam mengajarkan didalam mencari tuhan, telah diberi jalan yang termudah dengan dalil barang siapa kenal Tuhannya maka dia akan kenal dirinya … hal ini telah ditunjukkan oleh Allah bahwa Allah itu sangat dekat, … atau dengan dalil …barang siapa yang sungguh-sungguh datang kepada Kami, pasti kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami… (QS: Al ankabut: 69 )
“Wahai orang-orang yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan bagimu furqan (pembeda).” (QS : Al Anfaal: 29)
Ayat-ayat ini membuktikan di dalam mendekatkan diri kepada Allah tidak perlu lagi melalui proses pencarian atau menelusuri jalan-jalan yang di temukan oleh kaum filsafat atau ahli spiritual di luar islam, … karena mereka di dalam perjalanannya harus melalui tahapan-tahapan alam-alam … Islam di dalam menemuhi Tuhannya harus mampu memfanakan alam-alam selain Allah dengan konsep laa ilaha illallah … laa syai’un illallah … laa haula wala quwwata illa billah … tidak ada ilah kecuali Allah … tidak ada sesuatu (termasuk alam-alam) kecuali Allah, … tidak ada daya dan upaya kecuali kekuatan Allah semata ….maka berjalanlah atau melangkahlah kepada yang paling dekat dari kita terlebih dahulu bukan melangkah dari yang paling jauh dari diri kita ….
Demikian mudah-mudahan Allah membukakan hati kita …

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates