http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0402/15/layar.htm Minggu, 15/02/04 Layar Mata Jahat Kamera SEPANJANG Kamis (12/2) kemarin, nyaris semua media terkecoh oleh Akbar Tanjung. Dengan kecerdasannya, orang nomor satu di Partai Golkar itu memanfaatkan televisi untuk ikut memainkan "politik ruang keluarga" yang dia skenariokan. Luar biasa! Jutaan pemirsa televisi pasti tersedot oleh liputan kasus kasasi Akbar Tanjung. Semua stasiun teve berlomba mencari angel paling tepat, untuk menjadi yang terbaik. Laporan langsung persidangan, demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Agung, wawancara dengan banyak pihak yang terkait dengan kasus itu, menjadi sajian utama. Tapi, tampaknya TV7 lebih jeli membaca peluang. Televisi milik Group Kompas itu membagi dua layar televisi, menampilkan pembacaan dakwaan dan suasana di rumah keluarga Akbar Tanjung. Maka yang tampak kemudian sepanjang hari itu adalah perbandingan antara suasana persidangan dan atmosfer di rumah Akbar. Keluarga besar Akbar berkumpul. Dia bersama istri dan dua anaknya duduk di sofa dan menonton teve dengan tegang. Berkali-kali dia menyalami tamu yang hadir, tapi matanya fokus ke televisi. Di sisi kirinya, Ruhut Sitompul, asyik melempar senyum ke para tamu dan sesekali menatap televisi. Tapi, jika Anda perhatikan, beberapa kali Ruhut menatap kamera TV7 dengan ekspresi yang aneh. Ia menyadari sungguh kehadiran kamera. Kehadiran Ruhut penting dicatat di sini. Sebelumnya, sebagaimana yang dicatat Kompas (12/2), dia telah mengatakan bahwa kliennya, Akbar Tanjung, pasti bebas. "Saya yakin seratus persen. Rumput bergoyang pun sudah tahu," ujarnya sambil tertawa. Pernyataan Ruhut itu bertolak-belakang dengan Akbar yang masih berharap, "Saya mohon kepada para kiai untuk mendoakan saya agar bisa lolos dari cobaan ini," katanya di Jember, Rabu (11/2). Dari dua pernyataan itu, kita dapat melihat arah media, terutama televisi, dalam menangkap momen putusan kasasi tersebut. Sandiwara Akbar Poin pertama yang harus dicatat, apa yang dikatakan Ruhut sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Hampir semua media online, sepanjang Selasa sudah memberitakan tentang akan bebasnya Akbar. Tentu tanpa menyebut sumber berita itu. Ruhut sendiri hanya mengatakan informasi bebasnya Akbar dia dapatkan berdasarkan jaringan yang dia miliki di MA. Tapi skor putusan 4-1 yang dia katakan, ternyata memang terbukti. Poin kedua adalah pernyataan Akbar. "Saya ingin mendengarnya bersama istri dan anak saya di rumah, karena ini memengaruhi kehidupan saya dan keluarga," ucapnya. Ada kejanggalan pada dua pernyataan di atas. Sebagai pembela nonligitasi Akbar Tanjung, Ruhut Sitompul tidak mungkin tidak memberitahukan diterimanya kasasi kasus korupsi Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog itu. Artinya, jika hari Selasa saja para wartawan telah mendapatkan bocoran tentang hasil keputusan kasus itu, dan hari Rabu Ruhut sudah "tergelak-gelak" mengatakan hasil keputusan itu, sangat mustahil Akbar belum tahu. Indikasi lain, Akbar mengikuti sidang itu dari rumah dan membiarkan --atau mungkin mengundang-- teve untuk meliput kegiatan dia di rumah sepanjang hari itu. Dari sini saja dapat ditarik konklusi, sangat tidak mungkin jika Akbar tidak tahu hasil putusan kasasi itu, dia berani mengundang wartawan teve. Apakah dia siap reaksi semua keuarganya, tertangkap kamera, jika kasasinya ditolak MA? Maka semua reaksi yang tampil di rumah Akbar jelas "sandiwara akbar". Sayang, inilah yang tidak ditangkap teve. Akbar dengan sederetan penasihatnya yang sangat cerdas justru memanfaatkan mata kamera untuk memperbaiki citra. Maka duduklah dia di sofa itu dengan wajah tegang, bibir yang terus mendaraskan doa, dan hanya berdiri untuk pergi shalat. Istrinya, Krisnina, duduk dengan wajah kelabu, nyaris tampa make-up, pucat, wajah kurang tidur. Hanya dua anak mereka yang riang. Si bungsu tersenyum terus dan yang nomor tiga duduk tanpa gelisah. Kamera teve terus mengikuti gerak-gerik Akbar. Dan begitulah, saat magrib, Akbar pun berbuka puasa, meneguk air putih, dua keping roti kering, dan lima menit kemudian, putusan kasasi jatuh. Dia segera menengadahkan tangan, berdoa syukur. Sementara, takbir "Allah Akbar" bergema di ruangan. Akbar meneguk lagi air putihnya dan hadirin yang menyalami dan memeluknya, menyibak, memberikan ruang baginya untuk sujud syukur. Sempurnalah "sandiwara" itu. Jelas, sujud syukur dan doa itu bukan sandiwara dan juga bukan reaksi spontan. Tapi semua momen itu dia lakukan dengan kesadaran ada kamera yang mewakili jutaan pasang mata. Adegan berikutnya adalah tayangan "telenovela", tangisan, pelukan, takbir syukur, yang membentuk citra betapa Akbar sangat dicintai, betapa hebat ikatan keluarga besar mereka. Dan jujur, suasana haru itu memang merembes ke pemirsa yang larut karena ikut mengamati sedari awal. Kealpaan Media Televisi seakan tidak cukup dengan tayangan "politik" ruang keluarga itu. MetroTV pukul 22.00 WIB menayangkan "Election Watch" dengan moderator Denny JA yang juga membahas kasus Akbar, menghadirkan Wasekjen Golkar Bomer Pasaribu. Pukul 24.00, MetroTV kembali mengulas kasus itu dalam "Midnight Live" dengan narasumber wakil mahasiswa pendemo dan Ketua AMPG Yorris Raweaei. Tapi dua tayangan itu masih dapat dimaafkan dibandingkan dengan tayangan "Duduk Perkara" TV7 pukul 20.00 WIB. Tayangan ini bukan mendudukkan perkara kasasi itu di tempat yang sebenarnya, melainkan meloncat membahas "drama mengharukan" di keluarga Akbar Tanjung. Uni Lubis memang menghadirkan wakil dari ICW dan Presidencial, selain Akbar dan putrinya, tapi dua narasumber itu hanya pajangan. "Duduk Perkara" malam itu justru melecehkan nalar penonton dengan tidak membahas substansi pertimbangan hakim yang membebaskan Akbar. Moderator justru bertanya, perlakuan semacam apa yang diterima putri Akbar di sekolah setelah ayahnya didakwa kasus korupsi itu. Ini kan cara berpikir yang setali tiga uang dengan empat hakim agung yang sibuk menganalisis Terdakwa II dan Terdakwa III tapi tidak memberi banyak uraian mengenai Terdakwa I (Akbar Tanjung). Kebodohan itu masih berlanjut dengan kelucuan moderator yang menghubungkan kebebasan Akbar dengan Hari Valentine. Masya-Allah, keputusan yang menyangkut penegakan supremasi hukum dan moralitas hanya didudukkan sebagai anugerah pada Hari Valentine. Bayangkan, talk show macam apa itu yang menggiring penonton kian menjauhi "duduk perkara"? Itu belum cukup, Uni bahkan bertanya kepada dua narasumber lain, tidakkah mereka ikut sedih dan tergerak melihat kesulitan dan derita yang dialami keluarga Akbar Tanjung? Gila! Dari semua tayangan di atas, tampaknya media (terutama televisi) tidak menyadari skenario yang dikembangkan "tim humas" Akbar Tanjung. Dengan pernyataan Akbar sebelumnya bahwa dia akan menunggu putusan bersama keluarga saja, telah terbaca "arah angin" yang ingin ditiupkan politikus senior itu. Dengan menunggu di ruang keluarga dan mengundang televisi juga media lain memasuki domain keluarga tersebut, tampak secara nyata Akbar ingin mengubah kasus korupsi itu dari ranah ruang publik menjadi wilayah ruang keluarga. Artinya, posisi nyata kasus itu yang menjadikan Akbar sebagai Terdakwa I dengan jabatan publik sebagai Mensesneg dia geser, dengan bantuan media, sebagai tanggung jawab pribadi, seorang ayah. Yang tampil kemudian adalah kegelisahan seorang ayah yang diapit dua putrinya, yang cemas dan gugup, didampingi istrinya yang pucat dan "kumuh" daripada kegelisahan ratusan rakyat kecil yang tak terangkat nasibnya karena "hilangnya" dana Rp 40 miliar itu. Begitu canggih Akbar memainkan skenario itu, sehingga begitu putusan bebas dibacakan, citra kelegaan keluarga yang ditonjolkan. Dan keberhasilan memainkan "politik ruang keluarga" itu berimbas pada liputan media selanjutnya yang sudah terhipnotis oleh tayangan tersebut, sehingga menginfiltrasi tayangan sejenis "Election Watch" dan "Duduk Perkara". Media dalam hal ini melakukan bias: lebih banyak menghadirkan "fakta psikologis" daripada "fakta sosiologis". Bukan hanya itu, dalam peliputan kasus ini pun, media mengambil praktek talking news, menyitir pendapat tokoh-tokoh daripada menyajikan dampak kasus itu pada masyarakat kebanyakan. Dan yang paling memprihatinkan, berdasarkan intensitasitas peliputan, media hanya menjadikan kasus ini sebagai "hiburan" dan "berita" an sich. Hanya meliput ketika suasana sedang panas atau bahkan haru. Saya yang melihat pembodohan itu hanya bisa mengelus dada, karena sebagai orang yang bekerja di media, saya merasa sedang ikut menanggung dosa. (Aulia A Muhammad-75) |
0 komentar:
Posting Komentar