Senin, 10 November 2008

Mata Jahat Kamera

Mata Jahat Kamera

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0402/15/layar.htm

Minggu, 15/02/04

Layar
Mata Jahat Kamera

SEPANJANG Kamis (12/2) kemarin, nyaris semua media terkecoh oleh Akbar
Tanjung. Dengan kecerdasannya, orang nomor satu di Partai Golkar itu
memanfaatkan televisi untuk ikut memainkan "politik ruang keluarga"
yang dia skenariokan. Luar biasa!

Jutaan pemirsa televisi pasti tersedot oleh liputan kasus kasasi Akbar
Tanjung. Semua stasiun teve berlomba mencari angel paling tepat, untuk
menjadi yang terbaik. Laporan langsung persidangan, demonstrasi di
depan Gedung Mahkamah Agung, wawancara dengan banyak pihak yang
terkait dengan kasus itu, menjadi sajian utama. Tapi, tampaknya TV7
lebih jeli membaca peluang. Televisi milik Group Kompas itu membagi
dua layar televisi, menampilkan pembacaan dakwaan dan suasana di rumah
keluarga Akbar Tanjung.

Maka yang tampak kemudian sepanjang hari itu adalah perbandingan
antara suasana persidangan dan atmosfer di rumah Akbar. Keluarga besar
Akbar berkumpul. Dia bersama istri dan dua anaknya duduk di sofa dan
menonton teve dengan tegang. Berkali-kali dia menyalami tamu yang
hadir, tapi matanya fokus ke televisi. Di sisi kirinya, Ruhut
Sitompul, asyik melempar senyum ke para tamu dan sesekali menatap
televisi. Tapi, jika Anda perhatikan, beberapa kali Ruhut menatap
kamera TV7 dengan ekspresi yang aneh. Ia menyadari sungguh kehadiran
kamera.

Kehadiran Ruhut penting dicatat di sini. Sebelumnya, sebagaimana yang
dicatat Kompas (12/2), dia telah mengatakan bahwa kliennya, Akbar
Tanjung, pasti bebas. "Saya yakin seratus persen. Rumput bergoyang pun
sudah tahu," ujarnya sambil tertawa. Pernyataan Ruhut itu
bertolak-belakang dengan Akbar yang masih berharap, "Saya mohon kepada
para kiai untuk mendoakan saya agar bisa lolos dari cobaan ini,"
katanya di Jember, Rabu (11/2). Dari dua pernyataan itu, kita dapat
melihat arah media, terutama televisi, dalam menangkap momen putusan
kasasi tersebut.

Sandiwara Akbar

Poin pertama yang harus dicatat, apa yang dikatakan Ruhut sebenarnya
telah menjadi rahasia umum. Hampir semua media online, sepanjang
Selasa sudah memberitakan tentang akan bebasnya Akbar. Tentu tanpa
menyebut sumber berita itu. Ruhut sendiri hanya mengatakan informasi
bebasnya Akbar dia dapatkan berdasarkan jaringan yang dia miliki di
MA. Tapi skor putusan 4-1 yang dia katakan, ternyata memang terbukti.

Poin kedua adalah pernyataan Akbar. "Saya ingin mendengarnya bersama
istri dan anak saya di rumah, karena ini memengaruhi kehidupan saya
dan keluarga," ucapnya.

Ada kejanggalan pada dua pernyataan di atas. Sebagai pembela
nonligitasi Akbar Tanjung, Ruhut Sitompul tidak mungkin tidak
memberitahukan diterimanya kasasi kasus korupsi Rp 40 miliar dana
nonbujeter Bulog itu. Artinya, jika hari Selasa saja para wartawan
telah mendapatkan bocoran tentang hasil keputusan kasus itu, dan hari
Rabu Ruhut sudah "tergelak-gelak" mengatakan hasil keputusan itu,
sangat mustahil Akbar belum tahu.

Indikasi lain, Akbar mengikuti sidang itu dari rumah dan membiarkan
--atau mungkin mengundang-- teve untuk meliput kegiatan dia di rumah
sepanjang hari itu. Dari sini saja dapat ditarik konklusi, sangat
tidak mungkin jika Akbar tidak tahu hasil putusan kasasi itu, dia
berani mengundang wartawan teve. Apakah dia siap reaksi semua
keuarganya, tertangkap kamera, jika kasasinya ditolak MA? Maka semua
reaksi yang tampil di rumah Akbar jelas "sandiwara akbar".

Sayang, inilah yang tidak ditangkap teve. Akbar dengan sederetan
penasihatnya yang sangat cerdas justru memanfaatkan mata kamera untuk
memperbaiki citra. Maka duduklah dia di sofa itu dengan wajah tegang,
bibir yang terus mendaraskan doa, dan hanya berdiri untuk pergi
shalat. Istrinya, Krisnina, duduk dengan wajah kelabu, nyaris tampa
make-up, pucat, wajah kurang tidur. Hanya dua anak mereka yang riang.
Si bungsu tersenyum terus dan yang nomor tiga duduk tanpa gelisah.

Kamera teve terus mengikuti gerak-gerik Akbar. Dan begitulah, saat
magrib, Akbar pun berbuka puasa, meneguk air putih, dua keping roti
kering, dan lima menit kemudian, putusan kasasi jatuh. Dia segera
menengadahkan tangan, berdoa syukur. Sementara, takbir "Allah Akbar"
bergema di ruangan. Akbar meneguk lagi air putihnya dan hadirin yang
menyalami dan memeluknya, menyibak, memberikan ruang baginya untuk
sujud syukur. Sempurnalah "sandiwara" itu.

Jelas, sujud syukur dan doa itu bukan sandiwara dan juga bukan reaksi
spontan. Tapi semua momen itu dia lakukan dengan kesadaran ada kamera
yang mewakili jutaan pasang mata. Adegan berikutnya adalah tayangan
"telenovela", tangisan, pelukan, takbir syukur, yang membentuk citra
betapa Akbar sangat dicintai, betapa hebat ikatan keluarga besar
mereka. Dan jujur, suasana haru itu memang merembes ke pemirsa yang
larut karena ikut mengamati sedari awal.

Kealpaan Media

Televisi seakan tidak cukup dengan tayangan "politik" ruang keluarga
itu. MetroTV pukul 22.00 WIB menayangkan "Election Watch" dengan
moderator Denny JA yang juga membahas kasus Akbar, menghadirkan
Wasekjen Golkar Bomer Pasaribu. Pukul 24.00, MetroTV kembali mengulas
kasus itu dalam "Midnight Live" dengan narasumber wakil mahasiswa
pendemo dan Ketua AMPG Yorris Raweaei.

Tapi dua tayangan itu masih dapat dimaafkan dibandingkan dengan
tayangan "Duduk Perkara" TV7 pukul 20.00 WIB. Tayangan ini bukan
mendudukkan perkara kasasi itu di tempat yang sebenarnya, melainkan
meloncat membahas "drama mengharukan" di keluarga Akbar Tanjung. Uni
Lubis memang menghadirkan wakil dari ICW dan Presidencial, selain
Akbar dan putrinya, tapi dua narasumber itu hanya pajangan.

"Duduk Perkara" malam itu justru melecehkan nalar penonton dengan
tidak membahas substansi pertimbangan hakim yang membebaskan Akbar.
Moderator justru bertanya, perlakuan semacam apa yang diterima putri
Akbar di sekolah setelah ayahnya didakwa kasus korupsi itu. Ini kan
cara berpikir yang setali tiga uang dengan empat hakim agung yang
sibuk menganalisis Terdakwa II dan Terdakwa III tapi tidak memberi
banyak uraian mengenai Terdakwa I (Akbar Tanjung).

Kebodohan itu masih berlanjut dengan kelucuan moderator yang
menghubungkan kebebasan Akbar dengan Hari Valentine. Masya-Allah,
keputusan yang menyangkut penegakan supremasi hukum dan moralitas
hanya didudukkan sebagai anugerah pada Hari Valentine. Bayangkan, talk
show macam apa itu yang menggiring penonton kian menjauhi "duduk
perkara"? Itu belum cukup, Uni bahkan bertanya kepada dua narasumber
lain, tidakkah mereka ikut sedih dan tergerak melihat kesulitan dan
derita yang dialami keluarga Akbar Tanjung? Gila!

Dari semua tayangan di atas, tampaknya media (terutama televisi) tidak
menyadari skenario yang dikembangkan "tim humas" Akbar Tanjung. Dengan
pernyataan Akbar sebelumnya bahwa dia akan menunggu putusan bersama
keluarga saja, telah terbaca "arah angin" yang ingin ditiupkan
politikus senior itu.

Dengan menunggu di ruang keluarga dan mengundang televisi juga media
lain memasuki domain keluarga tersebut, tampak secara nyata Akbar
ingin mengubah kasus korupsi itu dari ranah ruang publik menjadi
wilayah ruang keluarga. Artinya, posisi nyata kasus itu yang
menjadikan Akbar sebagai Terdakwa I dengan jabatan publik sebagai
Mensesneg dia geser, dengan bantuan media, sebagai tanggung jawab
pribadi, seorang ayah.

Yang tampil kemudian adalah kegelisahan seorang ayah yang diapit dua
putrinya, yang cemas dan gugup, didampingi istrinya yang pucat dan
"kumuh" daripada kegelisahan ratusan rakyat kecil yang tak terangkat
nasibnya karena "hilangnya" dana Rp 40 miliar itu.
Begitu canggih Akbar memainkan skenario itu, sehingga begitu putusan
bebas dibacakan, citra kelegaan keluarga yang ditonjolkan. Dan
keberhasilan memainkan "politik ruang keluarga" itu berimbas pada
liputan media selanjutnya yang sudah terhipnotis oleh tayangan
tersebut, sehingga menginfiltrasi tayangan sejenis "Election Watch"
dan "Duduk Perkara".

Media dalam hal ini melakukan bias: lebih banyak menghadirkan "fakta
psikologis" daripada "fakta sosiologis". Bukan hanya itu, dalam
peliputan kasus ini pun, media mengambil praktek talking news,
menyitir pendapat tokoh-tokoh daripada menyajikan dampak kasus itu
pada masyarakat kebanyakan.

Dan yang paling memprihatinkan, berdasarkan intensitasitas peliputan,
media hanya menjadikan kasus ini sebagai "hiburan" dan "berita" an
sich. Hanya meliput ketika suasana sedang panas atau bahkan haru. Saya
yang melihat pembodohan itu hanya bisa mengelus dada, karena sebagai
orang yang bekerja di media, saya merasa sedang ikut menanggung dosa.
(Aulia A Muhammad-75)

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates