Benarkah Manusia Adalah Makhluk Yang Paling Mulia (Mengenal Diri, Mengenal Allah dan Ruh Al-Quds).
Posted by Herry @ 19:09 | in Artikel, Pengetahuan Islam Dasar, Tanya Jawab, Renungan | e-mail this article | + to del.icio.us
[TANYA] Mengapa dahulu, pada saat penciptaan manusia, malaikat yang terbuat dari cahaya, bersujud pada Adam yang hanya terbuat dari tanah? Bukankah cahaya lebih mulia dari tanah?
[JAWAB] Dalam diri manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati (insan kamil) terdapat secuil ‘unsur yang sangat mulia,’ yaitu yang dibahasakan dalam Al Qur’an sebagai ‘Ruhul Quds’. Ruhul Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruhul Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan sebutan Ruh min Amr, atau Ruh dari Amr Allah (Amr = urusan, tanggung jawab). Dalam agama saudara-saudara dari nasrani, disebut Roh Kudus.
Ruh-Nya atau Ruhul Quds ini bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki ruh yang menghidupkan-Nya seperti kita. Ruh ini merupakan ruh ciptaan-Nya, sebagaimana ruh yang menjadikan diri kita hidup sekarang, namun dalam martabat tertingginya, dalam tingkatannya yang paling agung dan paling dekat kepada Allah.
Setiap ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya ‘hidup’ dan terus berputar, dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya ‘hidup’. Karena itu pula, benda, tumbuhan, hewan, bahkan anggota tubuh kita kelak akan bersaksi mengenai perbuatan kita di dunia ini. Namun demikian, ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh Al-Quds.
Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.
Perhatikan juga kata ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72, yang ditiupkan pada diri Adam saat penciptaannya:
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya”. (Q.S. 38:72)
Secuil ‘ruh’-Nya itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah ‘disempurnakan-Nya’, yang diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja dan tidak pada semua manusia.
Pada Adam as dan Isa as, dua manusia yang diciptakan-Nya langsung dengan ‘tangan-Nya’ tanpa melalui proses pembuahan, Ruh ilahiyah ‘penyempurna’ ini langsung ‘tertularkan’ ketika mereka diciptakan. Karena itulah, dalam proses penciptaan Adam as, setelah ditiupkannya Ruh-Nya, para malaikat pun sujud kepada Beliau. Sedang pada kita manusia biasa yang tercipta melalui proses alamiah atas kehendak-Nya, juga diberikan perangkat untuk memperolehnya (tepatnya perangkat untuk ‘membuat’ Allah berkenan dan ‘percaya’ untuk menurunkannya pada kita), yaitu qalb, syariat lahir, dan syariat batin.
Dengan demikian, bagi manusia yang belum memiliki ‘unsur’ ini dalam dirinya, sangat wajar jika malaikat tidak akan tunduk padanya, dan dia memang belum layak untuk ‘disujudi’. Contoh saja, jika kita sekarang memerintahkan pada malaikat di samping kita untuk menampakkan dirinya, apakah mereka akan tunduk pada perintah kita itu?
Mengapa para malaikat tunduk pada para Nabi dan orang-orang suci? Karena lewat proses perjuangan penyucian qalb dan diri mereka masing-masing, Allah berkenan menganugerahkan Ruh-Nya tadi kepada orang-orang itu. Bedanya dengan Adam a.s dan Isa a.s, mereka ‘tertular’ Ruh-Nya sejak lahir, karena diciptakan langsung dengan ‘tangan Allah’ (dalam tanda kutip); sedangkan manusia selain mereka, untuk dapat dianugerahi Ruh Al-Quds, harus melewati perjuangan diri. Mereka harus membuktikan pada Allah bahwa mereka layak untuk dianugerahi ‘unsur’ yang paling agung yang bisa didapatkan oleh makhluk ke dalam jiwanya.
Di sisi lain, ada beberapa malaikat yang tidak tunduk kepada mereka yang memiliki Ruh Al-Quds, namun memposisikan dirinya sejajar dengan para Insan Kamil. Mengapa? Karena beberapa malaikat ini juga dianugerahi Ruh Al-Quds oleh Allah. Sebagaimana manusia, tidak semua malaikat memiliki Ruh Al-Quds. Dari para malaikat yang memilikinya, diantaranya adalah para malaikat utama (Archangels): Jibril a.s. (Arch. Gabriel), Mikail a.s. (Arch. Michael), Izrail a.s. (Arch. Uriel), dan Israfil a.s. (Arch. Raphael). Kedudukan mereka diantara para malaikat kurang lebih sama seperti kedudukan para Nabi diantara manusia.
Dalam [2] : 253,
“Rasul-rasul (rasul: pembawa risalah –red.) itu Kami lebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds.” (Q. S. [2] : 253)
Jadi kurang tepat jika kita mengatakan dengan terlalu mudah bahwa manusia, atau kita, adalah makhluk yang paling mulia di alam semesta. Manusia baru menjadi makhluk yang paling mulia jika telah diperangkati Allah dengan ‘unsur’ ini. Jika belum diperangkati dengan unsur ini, bahkan kedudukan manusia bisa lebih rendah dari hewan ternak (lihat Q.S. 25:44).
Penganugerahan Ruh-Nya pada seorang manusia inilah yang secara awam dikatakan sebagai ‘manunggaling kawulo gusti’, atau ‘penyatuan hamba dan Tuhannya’ yang sering dilabelkan pada kaum sufi di seluruh dunia. Padahal yang terjadi sebenarnya, adalah penganugerahan ‘Ruh-Nya’ atau Ruh Al-Quds kepada diri seseorang. Sebagai zat, Allah dan makhluk mustahil menyatu.
Ruh Al-Quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk apa seseorang diciptakan Allah, secara spesifik orang-per-orang. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds, seseorang menjadi mengerti misi hidupnya sendiri. Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds inilah yang disebut sebagai ‘ma’rifat’, dan telah mengenal diri sepenuhnya.
“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,” kata Rasulullah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Rabb-nya. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam jiwanya, seseorang menjadi mengenal dirinya, mengerti kemisian dirinya, dan mengenal Rabb-nya melalui kehadiran Ruh-Nya itu.
Dengan mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang ber-agama secara sejati pula. “Awaluddiina ma’rifatullah,” kata Ali bin Abi Thalib kwh. Awalnya ad-diin (agama) adalah ma’rifatullah (mengenal Alah). Jadi berbeda dengan pengertian awam bahwa mencapai makrifat adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: ma’rifat adalah awalnya beragama, ber-diin dengan sejati.
Inilah ‘trinitas’ yang dikembalikan oleh Qur’an kepada hakikatnya semula: Allah, Ruh Al-Quds, dan jasad sang Insan Kamil. Pengertian trinitas ini, seiring dengan berjalannya waktu dan jauhnya aliran doktrin dari mata-airnya, perlahan berubah menjadi sesuatu yang abstrak: tiga tetapi satu dan satu tetapi tiga. Namun Rasulullah melaui Qur’an, secara halus mengembalikan khazanah tritunggal ini kepada esensinya: bukan zatnya yang satu sekaligus tiga, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah Allah dan Insan Kamil, melalui kehadiran Ruh Al-Quds, telah sepenuhnya selaras dan menjadi satu kehendak. Apapun perbuatan, perilaku dan kehendak seorang Insan Kamil akan sepenuhnya sesuai dengan kehendak Allah. Sedangkan Allah-nya sendiri, sebagai zat, tetap hanya satu. Inilah yang dikembalikan: Allah itu satu, tidak memiliki anak, dan anggota sistem ke-tiga-an itu terpisah, baik secara hakikat maupun zat. Wujudnya satu, bukan tiga.
Siapa saja Insan Kamil itu? Mereka adalah semua orang yang telah dianugerahi Allah Ruh Al-Quds ke dalam jiwanya. Semua Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Isa as, dan para orang suci yang ber-maqam rahmaniyah dan rabbaniyah, adalah Insan Kamil.
Ada sebuah hadits dari Rasulullah, ketika Umar melihat dajjal dan bermaksud membunuhnya, Rasulullah mencegah beliau. Rasulullah mengatakan, Umar tidak akan mampu membunuhnya. Yang akan menghadapi dajjal kelak adalah Nabi Isa as di akhir zaman. Kenapa Nabi Isa as, bukan Umar atau bahkan bukan Rasulullah? Karena, walaupun semua orang yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds tidak bisa lagi disentuh iblis, hanya Nabi Isa-lah satu-satunya orang yang oleh Allah diberi kehormatan sebagai manusia yang memiliki Ruh Al-Quds sejak hari kelahirannya, bahkan sejak dalam kandungan. Kenapa bukan Adam a.s.? Karena Adam as tidak pernah dilahirkan. Beliau ‘diciptakan’, dijadikan. Menghadapi dajjal adalah hak Nabi Isa a.s.
“Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu ketika Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Quds, kamu dapat berbicara dengan manusia ketika masih dalam buaian dan ketika dewasa…” (Q. S. [5] : 110)
Kembali ke persoalan sebelumnya,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan mereka yang kafir”. (QS. 2:34)
Sujudnya Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telah disempurnakan-Nya (Insan Kamil) ada yang disebut ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72 tadi. Malaikat –bukan– sujud kepada sifat jasadiyahnya Adam. Malaikat akan sujud kepada siapapun yang dalam dirinya ada pantulan ‘citra’ Allah (yang jelas, fokus, dan tidak blur), yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh Al-Quds) dalam jiwa seseorang. Iblis tidak mampu melihat ke dalam inti jiwa manusia tempat Ruh Al-Quds disematkan Allah, maka ia melihat Adam tidak lebih dalam dari sekedar tanah yang digunakan sebagai bahan jasadnya, sehingga ia enggan bersujud (perhatikan kata yang dipakai dalam ayat tersebut: ‘kafir’: tertutup, tidak mampu melihat kebenaran).
Kembali pada ayat:
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya”. (Q.S. 38:72)
Jangan ’sujud’ kepada siapapun yang belum dianugerahi Allah ‘Ruh-Nya’ ke dalam dirinya. Allah hanya memerintahkan ’sujud’ kepada mereka yang telah disempurnakan-Nya, dan telah dianugerahi Ruh Al-Quds kepada dirinya.
[]
P.S. :
(1) Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds mempunyai kemewahan yang tiada tara: bisa berdialog (bukan monolog maupun meminta secara sepihak saja) dengan Allah langsung tanpa melalui ‘birokrasi’ malaikati apapun (jelas, karena kedudukannya jadi lebih tinggi dari malaikat). Allah akan berkenan menjawabnya langsung (lihat [2] : 253 di atas). Ia menjadi sahabat-Nya, Kalimullah (orang yang diajak berbicara dengan Allah). Ia menjadi keluarga-Nya (Ahlullah). Demikian pula, karena mustahil ketika seseorang mengenal Allah tidak takjub kepada-Nya, maka Allah-pun akan menjadi sosok yang paling dicintai orang tersebut.
(2) Tahu dari mana asal kata ‘Hadits Qudsi’? Kenapa ada perkataan Allah yang bisa disampaikan Nabi, tapi tidak ada dalam Qur’an? Disebut ‘Hadits Qudsi’ karena ucapan-ucapan-Nya itu disampaikan Allah lewat Ruh Al-Quds yang telah dianugerahkan Allah ta’ala kepada orang tersebut.
Oh ya, tentang ‘Hadits Qudsi’, baca juga tulisan ini.
(3) Plural dari ‘Ruh’ adalah ‘Arwah’. Karena semua Ruh langsung berasal dari Allah dan langsung pula kembali kepada-Nya, maka –TIDAK ADA– yang namanya ‘arwah gentayangan’ yang penasaran. Tidak ada roh yang penasaran. Yang ‘gentayangan’ itu jin yang belum beriman, atau bisa juga iblis. A’udzubillahi minasy-syaitonirrajiim.
_______
Catatan: Tulisan ini bukan karya saya. Saya hanya menuliskan kembali secara ringkas apa-apa yang saya pahami sebagaimana telah diajarkan oleh guru-guru saya. Semoga Allah menambah hikmah dan menganugerahkan rahmat-Nya pada mereka semua.
(Tulisan ini adalah posting ulang dari posting lama, ditambah dengan sedikit perbaikan.)
All works above are licensed under
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 License
«« Previous Post
'Pernikahan: Mengasah Diri Melalui Pasangan'
Next Post »»
'Jatuh Cinta dan Ad-Diin: Sebuah Artikel Mengenai Sufisme'
.:: TrackBack: Right click here and copy link for TrackBack URI ::.
:: RSS feed for comments to this post ::
9 Comments - (Give Comment) »
1. @Mas Her, jika “Jadi kurang tepat jika kita mengatakan dengan serta-merta bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia di alam semesta”, berada pada surah terakhir “manusia, adalah yang sudah berlindung pada Rajanya manusia”, itu sudah tepat disebut mulia
Yang Allah ciptakan, dan dicurigai malaikat akan melakukan pertumpahan darah malaikat menyebutnya “orang”,
kaitan lainnya Allah menyebutkan, “setelah aku sempurnakan kejadiannya, kutiupkan sebagian ruhKU” inilah manusia…, karena telah hidupnya setelah matinya….mohon maaf jika salah
Comment by zal — Saturday, July 7, 2007 @ 01:02
2. Dan bagaimanakah kita dapat mengenali mereka yang sudah di tiupkan ruhnya?
Comment by danalingga — Saturday, July 7, 2007 @ 09:04
3. saya termasuk percaya bahwa dalam alam semesta yang sangat luas ini sangat mungkin diciptakan makhluk lain yang ‘mirip’ kita di ujung lain sana. (sangat mungkin artinya tidak pasti, tapi bisa saja ada)
Bumi kita saja sudah memiliki 3 periode kemakhlukan : jaman dinosaurus -lalu punah, jaman phitecantropus erctus -punah juga, lalu jaman kita.
Dan kita bukanlah makhluk termulia, kita cuma diciptakan dengan potensi kemuliaan.
Allah swt juga kuasa untuk menciptakan makhluk2 lain setelah masa kita lewat.
Apapun semua itu, yang paling relevan adalah apakah kita berhasil melalui ujian Allah swt dengan potensi kemuliaan yang dikaruniakan itu.
Comment by khairulu — Sunday, July 8, 2007 @ 09:15
4. @ zal : Saya kurang menangkap maksudnya, tapi dari yang dikemukakan itu, sependek pengetahuan saya, itu baru ‘insan’. Menjadi ‘insan’ tidak sama dengan menjadi ‘Insan yang mulia’ di sisi Allah dan di mata alam semesta.
@ danalingga: bagaimana mengenalinya?
Para insan kamil merupakan hamba Allah. Seorang hamba (budak) hanya taat secara mutlak pada tuannya. Sekeras apapun kita memanggil mereka, mereka tidak akan datang ke kita, karena kita bukan majikannya. Para budak hanya bisa ditemui dengan meminta ijin pada tuannya terlebih dahulu. Ini esensi tulisan yang ini.
Selama kedudukan kita di bawah mereka, kita tidak bisa mengenali mereka. Mereka baru bisa dikenali dengan jelas oleh orang-orang yang sejajar atau lebih tinggi tingkat kedekatannya kepada Allah. Atau, jika Allah sendiri yang memerintahkan untuk membuka siapa dirinya kepada kita. Mereka tidak butuh untuk dikenal manusia, kecuali pada orang-orang yang –sungguh-sungguh– mencari Allah, maka Allah akan mempertemukan pencari-Nya itu dengan seorang Insan Kamil di zamannya, sebagai pertolongan dari Allah.
Tapi, tanda-tandanya masih mungkin bisa dikenali dengan lubb (’Aql jiwa, bukan akal jasad/rasio), oleh para ulil-albab, seperti pada tulisan ini dan tulisan ini.
Makasih, om zal dan om dana
Comment by Herry — Tuesday, July 10, 2007 @ 01:07
5. @ Mas Khairul: saya sepakat. Kita satu-satunya jenis makhluk yang diberi potensi untuk menjadi makhluk yang paling mulia di atas makhluk manapun juga. Tapi memang baru potensi, dan harus di-zahir-kan. Dan itulah jihad yang terbesar, jihad akbar sebagaimana sabda Rasul saw sepulang perang Badar.
Comment by Herry — Tuesday, July 10, 2007 @ 01:14
6. @herry, pembahasaan jawa dgn pendengaran “otak-ati”, sbg transportasi datangnya “pengkabulan do’a, dari suatu do’a”, termasuk bagiannya adalah “perenungan”,
@danalingga, “bagaimanakah kita dapat mengenali mereka yang sudah di tiupkan ruhnya? “…apa perlu…????, Allah saja Yang Empunya Ruh, sangat jarang yg mau ngenalinya…apalagi bagian yg ditiupkan, “kalau di Injil dikatakan mengenal Ruh dengan Ruh” maka hakikatnya siapa yg mengenal siapa”,
dan ada kalimah lainnya “hanya wali mengenal wali….”…, yach hanya penggemar slank, yg benar mengenali musiknya…ya ngga… dan sesama penggemar kan mendiskusikannya dengan seru dan asik…., yg lain…munkin tinggal tungggu giliran perputaran kali…he..he
Comment by zal — Wednesday, July 11, 2007 @ 13:56
7. ada ilmu rahasia dan ada ilmu yg yg tidak rahasia(umum). Untuk menjelaskan tentang ruhul quds adalah memakai ilmu rahasia…dan tidak bisa di jelaskan oleh orang awam (gak level)…kecuali Allah megizinkan siapa juga bisa melihat Ruhul Quds. ilmu para wali adalah ilmu rahasaia…maknya ada perkataan”hanya wali yg bisa mengenali para wali” karena para wali menyandang ilmu rahasia. ilmu rahasia bisa didpt oleh siapa saja tergantung Allah SWT yg menghendakinya. dah hanya sedikit ilmu rahasia yg di berikan kepd manusia..Sabdanya ” tidak Aku beritahu tentang zat ku kecuali sedikit”. maka jadilah kamu yg sedikit itu. Lebih mudah kita mengenal Allah dari pada kita mngenal para wali, krn para wali adalah manusai sama dengan kita dan dia tidak mau mnonjolkan diri, sedangkan Untuk Mengenal Allah sangat mudah, kita menghdap kemana aja disitu ada Allah, masa dulu, sekarang dan masa yg akan datang tidak akan berubah bentuk Nya, hanya satu tiada yg menyamainya, maha besar. sebenarnya pepatah” semut di seberang lautan kelihatn gajah diplupuk mataa gak klihatan” artinya yg kecil bisa kliatan sedang Allah yg MAHA BESAR tidak klihatan olehnya. knp bgitu..? yg jelas manusia itu blom dpt Rahmat dari Allah SWT untuk mendpt kan RUHUL QUDS…belajarlah dan cari terus sampe kelubang kubur klo masih bisa, agar kita bisa memulai beragama yg sempurna untuk mencari keridhoan Allah SWT..bukan mencari surga dan juga bukan menghindar dari neraka. Ridho Allah SWT satu-satunya yg kita cari dalam beribadah…..wassalmlkm wr.wb.
Comment by syahru — Friday, July 20, 2007 @ 09:30
8. @syahru
iya..ya syahru…
tapi kesan saya koq enggga ngenali..herry dan dana juga, apa karena tongkrongannya masih muda…sehingga perlu dijelaskan seperti itu…
menurut pendapat saya, herry dan dana sudah dipenyaksiin, diskusi yg saling jegal dengan pura-pura engga ngerti, hanya memperaya partikel yg sudah ada…
kalau engga keberatan yo diskusi aja…kan kalau sudah menyaksikan Sang Ilmu…bedanyakan hanya kesepahaman…
Comment by zal — Friday, July 20, 2007 @ 16:34
9. Pembahasannya cukup menarik. Yang kurang barangkali contoh-contoh orang/ insan yang telah memahami ruh al-quds, seperti misalnya apakah “Ashabul Kahfi” telah memiliki ruh al-quds karena dia telah berjuang melawan penguasa yang zalim? Apakah Para Khalifah termasuk mereka yang telah memiliki ruh al-quds, sebab tidak pernah terdengar berita atau kabar bahwa mereka memberi informasi pernah berbincang dengan Tuhan? Atau apakah Ruh Al-Quds adalah rahasia tersembunyi yang tidak mungkin dibahas kecuali antara sihamba “Al Quds” dengan Tuhan. Wallahualam bisshowab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar