Tanaman Obat Indonesia
Oleh:Rivanli Azis*
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayatinya, baik yang terdapat di lautan maupun daratan. Alam tropis Indonesia telah memberikan kesempatan untuk tumbuhnya berbagai jenis flora, diantaranya yang berguna sebagai obat-obatan. Awal abad ke-17, Bontius (ahli botani/1592-1631) menemukan hampir 60 jenis tanaman yang berkhasiat obat di Indonesia. Penemuan ini dilanjutkan oleh Van Rheede (1637-1691) dan lebih disempurnakan lagi oleh Rumphius yang menghimpunnya dalam buku Herbarium Amboinense. Tanaman Obat Indonesia (TOI) sejak lama secara temurun dipakai untuk mengobati berbagai penyakit dan telah terbukti keampuhannya.
Menurut Kartasapoetra, sejarah tanaman obat bermula saat 2500 th SM di Mesir Kuno, pengobatan selalu memanfaatkan tanaman obat yang tercatat dalam papyrus esher. Hypocrates (466 th SM/tabib) di masa Yunani Kuno memakai tumbuhan sebagai obat untuk pasien-pasiennya dan ternyata mujarab. Di Indonesia sendiri banyak ditemukan gambar-gambar tanaman obat pada relief-relief di beberapa candi kuno. Seorang ahli botani Jerman, Otto Brunfels menulis buku herbarium Vivae Icones yang berisi gambar-gambar tanaman obat. Tahun 1737, Linnaeus (ahli botani Swedia) menerbitkan buku Genera Plantarum yang merupakan pedoman utama sistematik botani.
Perkembangan selanjutnya Martius (apoteker) berhasil menggolongkan tanaman-tanaman obat menurut segi morfologi dalam bukunya Grundriss der Pharmakognosie des Planzenreiches. Akhirnya Egon Stahl (ahli botani Jerman) menyusun hasil-hasil penelitian tentang kandungan zat-zat dalam tanaman obat.
Hutan hujan tropis banyak dipakai untuk penelitian tanaman obat karena keanekaragaman floranya. Hutan tropis Indonesia memiliki 30.000 dari 40.000 spesies tumbuhan di dunia, dengan 8.000 diantaranya berkhasiat obat.Namun hanya 1.375 jenis diantaranya yang telah diteliti manfaatnya sebagai obat serta baru 400 jenis yang digunakan (Gatra (ed.), 2001).Obat-obatan yang berasal dari tanaman atau obat tradisional secara kualitatif dan kuantitatif perannya dalam pengobatan sangat meyakinkan, misalnya kasai (Pometia pinnata) untuk mengobati batu ginjal dll.
Namun yang paling banyak dipakai adalah dari suku jahe-jahean (Zingiberaceae). Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penggunaannya mencapai 80%, sedangkan pada negara-negara Barat 45% (Himawanti,1995). Namun kemudian menurun sejalan ditemukannya antibiotika dan senyawa sintetik sebagai bahan baku
obat moderen.
Sejak tahun 1978, sejumlah dokter di Amerika berusaha memasyarakatkan pengobatan alternatif dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan. Obat alternatif itu tidak dijual di toko melainkan diresepkan oleh dokter, sehingga kepercayaan masyarakat akan khasiat obat tersebut terjaga. Selain itu, pemanfaatan obat alternatif ini juga dikarenakan adanya kesadaran untuk "kembali ke alam" dengan pemikiran obat tersebut berefek samping ringan. Cara seperti ini bisa dicontoh para dokter di Indonesia untuk membudayakan pengobatan alternatif melalui TOI. Obat alternatif dari luar negeri ini meski berasal dari alam seperti halnya obat tradisional, diimpor Indonesia sebagai makanan kesehatan bukan obat. Sayangnya, sebagian besar dokter
Indonesia enggan menyarankan pengobatan tradisional kepada pasiennya walau terbukti manjur, karena belum adanya uji klinis. Uji klinis memang diperlukan, karena tidak semua TOI aman dikonsumsi. Ada jenis tertentu yang berefek toksik, seperti tanaman multiguna pule pandak (Rouvolfia serpentina) yang dapat mengobati hipertensi, epilepsi, diare, hernia dan imsonia, tapi juga berbahaya bila dikonsumsi penderita penyakit lambung. Selain itu mereka beranggapan daya kerja obat alami cenderung lambat.
Memang diakui bahwa efek obat alami agak lambat, karena kandungan zat didalamnya yang beragam. Untuk itu perlu diperhatikan cara pemakaiannya. Tentukanlah dengan tepat ciri-ciri tanaman obat yang akan digunakan untuk mengobati suatu penyakit atau gejala, karena ada nama daerah yang berarti lebih dari satu jenis tanaman. Perlu diingat untuk menjaga kebersihan dalam proses pembuatannya, dan gunakan hanya bagian tanaman yang dianjurkan, ikuti anjuran takaran dan petunjuk penggunaan untuk tiap gejala atau penyakit. Bila perlu satu jenis tanaman obat untuk tiap gejala atau penyakit (Christine, 1985).Sebenarnya pengobatan tradisional dengan memanfaatkan TOI adalah salah satu bentuk upaya pelibatan masyarakat dalam mengurus kesehatannya sendiri. Kegiatan ini sekaligus meringankan beban pemerintah dalam usaha pelayanan kesehatan. Pemerintah melalui Depkes telah menghimbau masyarakat agar kembali ke tanaman obat lewat pencanangan program "Kembali Ke Alam, Manfaatkan Obat Asli Indonesia", pada hari Kesehatan Nasional (12 November 1998). Program Depkes yang berupa SP3T (Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional) telah diterapkan di 12 propinsi. Program ini diadakan di rumah-rumah sakit dan masih berupa penelitian yang ternyata banyak dikunjungi pasien (Angkasa,2000). Pemanfaatan TOI juga bertujuan membuka peluang usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama mereka yang tinggal di dalam atau sekitar hutan, memperluas lapangan kerja dan mata pencaharian serta meningkatkan devisa negara.
WHO melaporkan 80% orang di dunia sekarang bergantung pada tanaman obat untuk pemeliharaan kesehatannya. Obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan ini dikenal sebagai Herbal Medicine, di Indonesia diartikan sebagai jamu. Kebutuhan tanaman obat di Indonesia tidak hanya untuk pemakaian sendiri, tetapi juga untuk industri jamu/farmasi berskala besar. Diperkirakan satu diantara empat macam obat yang tertera pada resep dokter, bahan bakunya berasal dari tumbuhan liar yang tumbuh di hutan tropika. 25% produk farmasi yang berasal dari tumbuhan hutan tropika ini diperdagangkan dengan nilai jual US$ 10-20 milyar (Matoa (ed.), 1998).
Dengan nilai yang menggiurkan ini, industri TOI dapat dijadikan peluang bisnis yang baik.Perusahaan obat atau pengusaha yang berkecimpung dalam pemasaran bahan baku obat dapat menampung,mengolah TOI sesuai standar yang ada lalu mengekspornya. Menurut laporan Herb Research Foundation, sejak 1981-1991, belanja obat-obatan tradisional meningkat sampai 2x lipat atau mencapai US$ 1,3 bilyun (Merdeka (ed.), 1995).Begitu pula halnya dengan industri jamu Indonesia yang terus meningkat, terutama sejak krisis ekonomi yang memicu naiknya harga obat kimia. Kenaikan ini membuat banyak orang beralih menggunakan obat tradisional untuk mengobati penyakit atau gejala. Industri ini mengalami peningkatan hingga 30-40% per tahun. Industri jamu yang ada sekarang berjumlah ± 615 yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Jamu, dan ± 600 anggota industri kecil obat tradisional, juga ± 400 koperasi produsen jamu yang berproduksi, ini belum termasuk industri rumahan. Sedang industri farmasi terdapat 260 perusahaan.Industri jamu memang masih kalah dalam perolehan devisa yang hanya menyumbang Rp. 2,4 trilyun bagi negara dibanding industri farmasi (Rp. 6,8 trilyun). Peluang pasar memang luas, dimana pasar dalam negeri omsetnya mencapai Rp. 180 milyar dengan nilai ekspor ± Rp. 30 milyar (Gatra (ed.), 2001). Negara tujuan ekspornya antara lain ASEAN, Timur Tengah, Australia, Amerika dan Eropa dan berbentuk pil, kaplet atau kapsul. Indonesia memang baru memasok sekitar 2% kebutuhan jamu dunia, ini bisa terus meningkat bila penggarapannya serius. Industri ini pun terus melakukan terobosan untuk meningkatkan kualitas produknya agar lebih diterima pasar dunia. Walau saat ini Indonesia masih kalah dari Cina, Jepang dan India.Pengembangan industri TOI ini terganjal karena belum adanya standardisasi, legislasi dan kurangnya SDM.
Dengan meningkatnya produksi obat tradisional, keuntungan para pemasok bahan baku juga meningkat 20-25% beberapa tahun terakhir (Paimin, 2000). Bahan baku obat sampai saat ini sebagian besar masih diambil dari hutan alam. Menurut Ditjen POM Depkes, untuk memproduksi jamu diperlukan ± 168 simplisia bagi industri jamu. Obat atau jamu ini dibuat dari bagian tumbuhan yang berupa akar, batang, kulit,
daun, umbi bunga, dan biji. Pengetahuan tradisional penduduk lokal dipakai untuk memungut TOI di hutan alam. Untuk itu pasokan bahan baku dari hutan alam cenderung tidak stabil, sementara permintaan terus meningkat. Seiring berkembangnya industri jamu sebagai konsumen utama bahan baku obat, disamping industri farmasi. Kesadaran untuk membudidayakan TOI masih rendah, karena teknik budi dayanya belum dikuasai; arah pemasaran; informasi mengenai potensi, sebaran, kondisi bio-ekologis masih terbatas.
Sampai akhir abad 19, obat-obatan alami masih diakui sebagai satu-satunya penyembuh berbagai penyakit. Khasiatnya di dunia Barat masih dipercaya memegang peranan penting. Namun ketika perkembangan dunia teknologi berkembang dan banyak ditemukannya zat-zat kimia sebagai alternatif pengganti dan dipercaya lebih ampuh, ramuan tanaman obat mulai ditinggalkan.Pengadaan bahan baku obat di Indonesia lebih banyak diimpor dari negara lain. Ketika krisis ekonomi muncul, harga-harga obat kimia melambung tinggi. Selama ini pemerintah kurang menggalakkan penggunaan TOI sebagai alternatif pengobatan. Sehingga kemampuan dan kemauan mengolah kekayaan flora yang dimiliki Indonesia kurang. Kebijakan pemerintah saat itu lebih berpihak pada bidang iptek yang tidak mengarah pada kesejahteraan banyak orang.
Beberapa jenis TOI saat ini menghadapi erosi genetik yang berlangsung cepat. 40 jenis diantaranya menjadi langka, seperti pulesari (Alyxia reindwartii) dan pulai (Alstonia scholaris). Laju pemanfaatan TOI untuk industri jamu dan farmasi yang berkembang tidak sebanding dengan usaha budi dayanya. Pengambilan langsung dari hutan alam dan merebaknya pemukiman juga ekstensifikasi tanaman pangan yang merusakkan habitat asli TOI menjadi penyebab ancaman kepunahannya. Bila erosi genetik ini terus berlanjut serta punahnya TOI, maka yang rugi adalah semua pihak, mulai dari industri jamu dan farmasi, konsumen
obat/jamu, negara bahkan dunia internasional.Sejak tahun 1950, beberapa institusi TOI didirikan dan sejumlah pertemuan diadakan untuk membahasnya. Kebiasaan budi daya tanaman obat sebenarnya telah dilakukan oleh para santri di pesantren secara temurun. Depkes pun kini menyarankan penanaman TOI di rumah-rumah penduduk yang sudah mulai banyak dilakukan. Pusat-pusat penelitian juga telah melakukan banyak riset seputar inventarisasi jenis,sebaran dan potensi TOI di hutan alam. Usaha-usaha tersebut tidak berarti apa-apa bila akhirnya hutan alam yang ada hancur karena eksploitasi yang berlebihan.Pelestarian TOI sendiri terutama jenis-jenis yang terancam punah dapat dilakukan dengan tiga cara,yakni in-situ (perlindungan di habitat aslinya) seperti cagar alam atau hutan lindung; ex-situ (perlindungan diluar habitat asli) seperti kebun raya dan kebun koleksi; atau dengan bioteknologi tanaman. Pemanfaatan bioteknologi bertujuan untuk melestarikan tanaman melalui metode kultur jaringan. Keunggulannya adalah dapat memperbanyak tanaman dalam waktu cepat, banyak tanpa perlu tempat yang luas dan tidak tergantung musim (Fatkurrohyani, 1998). Bioteknologi juga dapat dipakai untuk mengatasi kekurangan bahan baku obat alam, seperti yang dihadapi industri jamu atau farmasi sebagai konsumen utamanya.Pelestarian ex-situ telah dilakukan oleh beberapa lembaga yang dapat dijadikan sumber plasma nutfah TOI.
Kebun Raya Bogor sejak tahun 1970 mengkoleksi TOI dan hingga Juli 1996 koleksinya berjumlah 575 jenis, yang diperoleh dari hasil eksplorasi flora berpotensi obat di berbagai kawasan hutan di Indonesia.Kebun Koleksi Tanaman Obat Kebun Percobaan Dermaga Bogor juga telah melakukan pembibitan dan budi daya khususnya jenis yang langka. TMII dengan Taman Apotik Hidupnya telah mengkoleksi 300 jenis yang dilengkapi dengan laboratorium penelitiannya.Dalam rangka pelestarian TOI dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat sekitar hutan, Ervizal Zuhud menyarankan perlu dilakukan penelitian etnobotani, inventarisasi spesies, kondisi populasi dan penyebarannya. Setelah itu dipilih lokasi yang tepat untuk proyek percontohan pelestarian pemanfaatan TOI dari hutan tropika Indonesia. Dengan begitu diharapkan masyarakat sekitar hutan dapat memproduksi TOI dan pemanenan terkendali dengan usaha budi daya yang baik lalu mengolahnya dalam industri rumah tangga dan menghasilkan produk obat tradisional yang siap dipasarkan, sehingga secara bertahap taraf ekonomi mereka meningkat (Zuhud, 1993/1994). Industri jamu dan farmasi juga dapat melakukan usaha budi daya TOI untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produknya.Untuk menjamin keberadaan TOI di masa datang, diperlukan kerjasama berbagai pihak dengan melakukan penelitian dalam rangka peningkatan kualitas obat alami yang telah dikenal serta penyelamatan jenis-jenis TOI langka. Dengan demikian publikasi dan informasi seputar upaya pemanfaatan, pengembangan dan pelestarian TOI diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
*Penulis adalah Pengamat Kesehatan dan Mahasiswa Unand Angkatan 2005.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar