Senin, 08 Desember 2008

Moral Agama

Mengubah perilaku korup melalui moral keagamaan
Oleh: Rivanli Azis*

REALITAS masyarakat Indonesia yang religius (85% lebih penduduknya beragama Islam dan taat secara ritual keagamaan), dan selebihnya beragama lain, mestinya meniscayakan minimnya atau bahkan tidak adanya korupsi di Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi malah sebaliknya, perilaku korup terus terjadi dan merajalela. Pertanyaannya kemudian, sebenarnya sejauhmana pengaruh ajaran agama dalam mempengaruhi cara pandang pengikutnya yang nantinya terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari?

Masyarakat di Indonesia selama ini masih banyak yang memiliki pandangan bahwa korupsi adalah dosa biasa yang bisa diampuni, apalagi jika sebagian hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau sedekah fakir miskin dan anak yatim. Sehingga di akhirat nanti, timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat dibandingkan sanksi dosanya. Jika demikian, para koruptor dan penjahat politik bisa memperoleh ampunan dan bahkan masuk surga. Pemahaman yang seakan mengakali Tuhan (Allah) ini seringkali menjadi pijakan umat beragama di Indonesia untuk berperilaku korup. Hal kontradiktif yang sering terlihat ke permukaan adalah bagaimana seseorang yang berperilaku ritual keagamaan dianggap saleh (solat lima waktu, haji, puasa, berzikir sedekah) tetapi di sisi lain melakukan perbuatan korupsi. Hal ini banyak terlihat pada elit politik dan pejabat pemerintahan.

Padahal jika ditelaah secara lebih mendalam, perbuatan korupsi dalam konteks agama layak dikategorikan sebagai fasad (perbuatan yang merusak tatanan kehidupan) yang pelakunya bisa dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar). Pelakunya harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir.Demikian pula jika seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenazahnya tidak perlu disholatkan oleh kaum muslimin sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Hal ini karena tindak dan perilaku korupsi yang berkembang sedemikian rupa balik bentuk, pola dan modus operandinya, dampak yang diakibatkannya sangat merugikan, tidak hanya bersifat personal tetapi juga komunal bahkan sebuah bangsa.Oleh karena itu, muncul pemahaman bahwa korupsi sama saja dengan perbuatan yang tidak dimaafkan (syirik). Anehnya, banyak kalangan yang tidak menyadari hal tersebut, seolah-olah korupsi adalah persoalan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan biasa dan wajar. Padahal dampak yang diakibatkan oleh tindak perilaku korupsi menghancurkan sendi-sendi tatanan kehldupan masyarakat bahkan membahayakan keutuhan masyarakat dan bangsa.Hal terpenting bagi upaya pemberantasan korupsi dalam perspektif agama adalah berubahnya cara pandang mereka (umat) tentang ajaran agama itu sendiri. Jika para alim ulama memfatwakan (ijma'sukuti) untuk mengharamkan korupsi dan menjadi bagian dari perbuatan syirik (perbuatan yang tidak diampuni dosanya), kemungkinan perubahan pikir manusia akan berubah.

Mengubah persepsi nalar manusia (teologis) menjadi sesuatu yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi dikarenakan persoalan korupsi tidak hanya soal perilaku, tetapi soal pemahaman berpikir. Manusia dalam perilakunya dipengaruhi situasi-situasi religiusitas yang dipercayainya sehingga mendorong untuk mentaatinya.Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh NU bekerjasama dengan Muhammadiyah dan didukung oleh partnership ini adalah upaya rintisan dan bersifat masih sangat awal sebagai sebuah gerakan terorganisir. Kekuatan NU sebagai kekuatan moral baik dalam aspek politik, hukum, sosial, ekonomi dan lainnya diharapkan akan bisa memberikan arti bagi perubahan sosial di Indonesia menuju cita-cita demokrasi, baldatun toyyibatun wa rabbun ghafiiri.Baik NU maupun Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berpengaruh ditingkat politik Nasional memulai langkah pasti dalam pemberantasan korupsi.Kita tahu kader-kader NU dan Muhammadiyah selalu diperebutkan setiap pemilihan apapun namanya mulai dari tingkat Kepala Daerah sampai Kepala Negara.

*Penulis adalah Mahasiswa FH Unand dan Pengurus Lembaga Pengkajian Islam FH Unand.

0 komentar: