Jumat, 19 Desember 2008

KEADILAN ISLAM

KEADILAN ISLAM
M. Syamsi Ali
Jika ajaran Islam didalami secara teliti, didapati bahwa inti dari semua linea ajarannya bertumpu pada satu kata "keadilan" atau "al 'adl". Kenapa demikian? Karena keadilan adalah sentral kehidupan, di mana kehidupan akan mengalami kehancurannya tanpa tegaknya keadilan. Dengan kata lain, sesungguhnya tiada kehidupan tanpa keadilan itu sendiri.
Kenyataan di atas didukung oleh sebuah ayat dalam al Qur'an (S. Ar Rahman: 7-9). Allah menggambarkan bahwa alam semesta ini ditegakkan dengan sebuah "keseimbangan" (mizan).
Tanpa keseimbangan ini, alam semesta termasuk langit dengan segala perangkat celestial (kelompok planet) akan ambruk. Penggambaran ini kemudian dikembalikan kepada manusia agar tidak menghilangkan "keseimbangan" (keadilan)nya dalam hidup ini. Sebab jika itu terjadi, ambruklah kehidupannya. Manusia yang tidak adil alias zalim dalam kehidupannya akan mengalami kejatuhan, baik pada tataran individunya maupun pada skala sosialnya (moralitas). Akan ambruk pada aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya maupun hankamnya.
Keadilan dalam Islam adalah universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, berbagai status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Kedailan dalam Islam justeru ditegakkan walau itu untuk memenuhi hak-hak makhluk Allah yang lain, termasuk hewan. Mungkin kita masih ingat, seorang wanita dihukum karena menganiaya seekor kucing, tidak diberi makanan dan juga tidak dibiarkan untuk mencari makannya sendiri. Keadilan ini harus diterapkan secara "tegas" tanpa ada kecenderungan diskriminatif. Kesimpulannya, keadilan Islam hanya mengenal dua batas, yaitu "kebenaran" dan "kebatilan". Keadilan akan selalu memihak kepada yang benar, dan akan selalu menentang yang salah tanpa pandang kepada batas-batas tadi.
Universalisme keadilan Islam juga terpatri dalam cakupannya, yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam berinteraksi dengan Khaliknya dan dirinya sendiri. Kegagalan berlaku adil kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain. Ketidak adilan dalam berinteraksi dengan Sang Khalik misalnya justeru menjadi sumber segala bencana kehidupan. Allah menjelaskan:
"Telah nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat kejahilan tangan-tangan manusia, yang dengannya, Allah menjadikan mereka merasakan akibat sebagian dari apa yang mereka telah lakukan, dan semoga dengannya, mereka kembali kepadaNya" (ar Rum)
Kerusakan-kerusakan di atas, baik di darat maupun dilaut dan bahkan di angkasa luar saat ini, karena ulah manusia itu sendiri. Kenapa manusia berulah demikian? Allah merincinya pada ayat selanjutnya, bahwa semua itu terjadi karena "kezaliman/kesyirikan yang dilakukan oleh manusia:
"Maka berjalanlah kamu di atas bumi ini dan perhatikan bagaimana akibat orang-orang sebelum mereka (kerusakan tadi), kebanyakannya adalah melakukan kesyirikan" (ar Rum).
Mengabdi kepada Allah secara tidak proporsional, diluar ukuran timbangan (mizan), juga dapat mengakibatkan kezaliman pada sisi yang lain. Mungkin kepada keluarga, orang lain, atau mungkin kepada diri sendiri. Kecenderungan "rahbanist" atau menihilkan kehidupan duniawi dengan alasan ibadah adalah suatu bentuk kezaliman di sisi lain. Shalat malam secara terus menerus, puasa sunnah tanpa berhenti, sengaja tidak mencari keutamaan Allah (fadhlullah) dalam dunia kekinian (materi), bahkan sebagian menilai menikahi wanita adalah bentuk "ketidak taatan", adalah bentuk-bentuk kezaliman yang lain.
Keadilan dalam Islam juga tidak mengenal pembatas "kekeluargaan", "pertemanan" dan bahkan "permusuhan" sekalipun. Keadilan harus ditegakkan, walau itu menyentuh kepentingan diri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan menurut al Qur'an, tegakkan keadilan itu walau demi memnerikan hak kepada siapa yang kita anggap sebagai musuh. Dengan kata lain, "like and dislike" tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan keadilan dalam Islam. Allah menegaskan:
"Dan janganlah kiranya kebencianmu kepada suatu kaum menjadikanmu melenceng dari keadilan. Adillah, keran keadilan itu dekat kepada ketakwaan, dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui seluruh perbuatanmu".
Adil dalam berinteraksi dengan Pencipta
Allah menggambarkan bahwa persaksian Dia, para mailakat serta seluruh umat beriman akan keesaanNya, dikategorikan sebagai penegakan keadilan. Dengan demikian, m engimani kemaha tunggalan Allah SWT dalam segala aspeknya, baik secara Rububiyah, Uluhiyah maupun dalam
kaitan Asma dan Sifatnya mengindikasikan komitmen yang sangat tinggi untuk menegakkan keadilan. Allah berfirman:
"Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, para malaikat dan juga para ahli ilmu menegakkan keadilan. Tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana" (Al Imran)"
Allah juga menggambrakan bahwa mereka yang mengesakan Allah adalah tidak saja melakukan atau menegakkan keadilan, tapi juga menjadi "penyeru" kepada keadilan tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak beriman kepada Allah adalah mereka yang lemah, selalu tergantung kepada orang lain, serta tidak pernah mendatangkan kebajikan dalam kehidupan. Penggambaran ini diberikan oleh Allah dalam firmanNya:
"Dan Allah memberikan dua contoh lelaki. Yang satu adalah buta, tidak memiliki kekuatan sedikit pun, serta dia bergantung kepada tuannya, di mana saja dia diperintah dia tidak pernah membawa kebajikan. Apakah orang ini sama dengan yang siapa yang memerintahkan kepada keadilan serta berada di jalan yang lurus?"
Sebaliknya, kesyirikan yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya merupakan bentuk ketidak adilan atau kezaliman tertinggi dalam Islam. Allah menjelaskan:
"Dan mereka yang beriman dan tidak mencampur baurkan iman mereka dengan "dzulm" atau kezaliman, maka baginya adalah keamanan dan merekalah yang berada di atas petunjuk"
Pada ayat lain, Allah menjelaskan:
"Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya: Wahai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah bentuk kezaliman yang besar"
Adil dalam berinteraksi dengan diri sendiri
Adil pada diri sendiri menjadi begitu penting, karena tanpa keadilan ini kehidupan akan menjadi timpang dan tidak lengkap. Kehidupan manusia dilengkapi tiga kebutuhan dasar yang tidak terpisahkan, yaitu kebutuhan material, spiritual, dan intelektual. Ketiga kebutuhan tersebut mutlak terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi kebutuhan fisik dengan menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang kuat namun liar. Bak kuda liar yang akan menerjang kiri kanan tanpa aturan. Sebaliknya, memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat material, juga melahirkan sosok yang "saleh" namun lemah. Kekuatan intelektual semata juga melahirkan kelicikan yang hanya membahayakan diri dan manusia di sekitarnya.
Untuk itulah, Rasulullah dalam banyak hadits menganjurkan agar manusia adil dalam menyikapi dirinya sendiri. Ketika seorang sahabat beribadah secara berlebihan, beliau mengingatkan bahwa sesungguhnya mata, telinga, hidung, perut dan bawah perut, semuanya punya hak-hak untuk dipenuhi. Ketika tiga sahabat nabi bertekad untuk membagi tugas "rahbanis", yaitu satu tidak ingin tidur untuk shalat sepanjang malam, satu lagi tidak ingin makan untuk puasa sunnah secara berterusan, dan satu lagi tidak ingin nikah karena tak ingin terganggu dalam kegiatan ibadahnya kepada Allah, Rasulullah marah dan menasehati mereka untuk tidak bersikap demikian. Malah beliau menegaskan: "Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku (bersikap adil/imbang), maka bukanlah dari kalangan umatku".
Adil dalam berinteraksi dengan anggota keluarga
Salah satu dilemma besar yang dihadapi oleh dunia modern saat ini adalah kezaliman terhadap kehidupan keluarga. Ironisnya, terkadang kezaliman ini dibangun justeru di atas persepsi "membangun" keluarga bahagian/sejahtera. Sebagai misal, seorang ayah yang bekerja dari pagi hingga sore.
Berangkat di pagi hari di saat anak-anak masih tidur pulas, dan pulang sore di kala anak-anak telah bergegas utuk menuju tempat tidur. Komunikasi jarang terjadi, apalagi dalam konteks edukasi, atau lebih specifik lagi mengajarkan anak-anaknya akhlak yang baik. Jarangnya terjadi komunikasi antara ayah dan anak ini menjadi masalah dalam masalah, karena di sinilah seorang anak walau seluruh kebutuhan materinya terpenuhi, namun merasa ditinggalkan. Lebih celaka lagi, jika kedua suami-isteri memiliki kesibukan yang sama. Generasi Amerika dikenal sebagai "the angry and lonely generation" tidak lain karena jarangnya komunikasi antara anak-anak dan orang tua.
Sepintas kerja keras seorang ayah di atas adalah untuk kebaikan keluarga itu sendiri, namun tanpa disadari sesungguhnya telah terjadi ketidak adilan dalam berinteraksi dengan anggota keluarga. Hal ini juga bisa menyentuh hubungan suami-isteri, yang terkadang masing-masing punya "schedule" dalam kesehariannya. Sehingga tanpa disadari, kemakmuran materi yang dihasilkan diselimuti oleh kegersangan "relasi" di antara anggota keluarga itu sendiri.
Untuk itulah, Rasulullah secara khusus menegaskan:
"Sungguh bagi keluargamu memiliki hak atas dirimu"
Dalam hal pendidikan, terkadang semangat untuk melihat anak-anak kita sukses dalam dunianya, menjadikan sebagian orang tua lupa akan usaha-usaha kesuksesannya di dunia mendatang (akhirat). Menyikapi pendidikan anak yang seperti ini juga merupakan bentuk "kezaiman" yang tidak disadari.
Adil terhadap sesama Muslim
Dalam al Qur'an disebutkan bahwa jika ada dua kelompok Muslim bertkai, maka diupayakan perbaikan/rekonsiliasi di antara keduanya. Jika dalam prosesnya, salah satu dari keduanya berbuat zalim (baghy), maka kelompok tersebut harus diperangi dengan tujuan agar kembali ke jalan Allah (kebenaran). Jika telah sadar, dan ingin berbuat secara adil, maka sekali lagi didamaikan di antara keduanya dengan "ukuran keadilan" yang sangat dan esktra hati-hati (wa aqshituu).
Al Qur'an menyinggung sejak awal existensi masyarakat Muslim sekalipun bahwa suatu hari pada suatu tempat akan terjadi "benturan-benturan" di antara kaum Muslimin (iqtataluu). Kata iqtataluu menggambarkan bahwa benturan ini memang wujudnya "ramai", berkali-kali, sering kejadiannya. Untuk itu, diperlukan pihak ketiga dari kalangan umat ini sendiri (bukan orang luar) untuk mengupayakan rekonsiliasi di antara kedua kelompok yang bertikai. Kenapa penegasannya bahwa rekonsiliator harus dari kalangan umat ini sendiri? Karena mustahil kita mengharapkan keadilan dari siapa yang tidak mengenal apa dan bagaimana keinginan orang-orang Islam itu dari kalangan luar. Selain itu, mereka dalam melakukan upaya-upaya rekonsiliasi tentu punya agenda dan kepentingannya sendiri.
Adil terhadap sesama manusia
Sebagaimana disebutkan terdahulu, keadilan Islam tidak mengenal pembatas, kecuali pembatas kebenaran dan kebathilan. Ukuran keadilan ditegakkan di atas asas kebenaran. Kalau ternyata dalam sebuah kasus, kebenaran adalah milik seorang non Muslim, maka Islam wajib memberikan kepadanya hak tersebut. Kisah Khalifah Ali, yang pernah menemukan baju besinya di rumah seorang yahudi. Maka Ali pun mengadukan yahudi itu kepada pengadilan. Sayangnya, Ali sendiri tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu adalah miliknya. Maka hakim memutuskan bahwa yang salah adalah Bapak Presiden (khalifah Islam), dan yang berhak atas baju itu adalah sang yahudi. Walau ternyata Ali benar, namun kebenaran persaksian perlu dibuktikan. Kisah ini menjadikan sang yahudi memeluk Islam, melihat kemurnian penegakan keadilan dalam agama ini.
Berbagai perjanjian yang dibuat rasulullah SAW dengan non Muslim di Madinah menunjukkan bahwa Islam begitu luas meperlakukan non Muslim secara adil. Salah satunya sebagai misal, adalah delegasi Kristen Nejran yang datang dari kampung Nejran untuk melaukan dialog dengan Rasulullah dalam berbagai masalah teologi, termasuk tentang Allah dan Isa AS. Di ujung dialog mereka tetap dalam kekufurannya dan menolak kerasulan Muhammad SAW, namun Rasulullah justeru membuat perjanjian yang dikenal "'Ahd Nagran". Perjanjian tersebut, salah satunya, menegaskan jaminan keadilan kepada mereka, jika mereka menuntut keadilan itu kepada orang-orang Muslim.
Kedailan dirasakan oleh seluruh non Muslim di seantero dunia di bawah kekuasaan Muslim di masa lalu. Di Spanyol kaum yahudi dan Kristen hidup secara tenteram bersama kaum Muslimin, menikmati segala fasilitas yang ada secara bersama-sama tanpa ada diskriminasi sekalipun. Ketika umat Islam terusir dari kawasan tersebut oleh penguasa Kristen, kaum yahudi yang kemudian dieksekusi secara sadis oleh penguasa Kristen Spanyol, lebih memilih melarikan diri ke negara-negara Islam di Afrika Utara dan Tukia, karena merasa mendapat perlindungan dari penguasa Muslim.
Demikian pula kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam di Baghdad ketika itu, hidup secara damai, tenteram dan sejahtera bersama-sama dengan penduduk Islam. Bahkan ketika dominasi Kristen barat memasuki wilayah itu, banyak di antara mereka yang justeru lebih nyaman berada di bawah pemerintahan Islam ketimbang Kristen barat yang memiliki sistim keagamaan tersendiri.
Adil dalam berinteraksi dengan makhluk Allah yang lain
perilaku zalim yang dilakukan manusia seringkali juga dialami oleh makhluk-makhluk Allah yang lain, termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun lingkungan hidup. Kebuasan dan kerakusan dalam mengumpulkan keuntungan materi, dan atas nama kemakmuran dan kesejahteraan, justeru menimbulkan berbagai "ketidak adilan" dalam kehidupan. Banyak jenis hewan yang mengalami keterputusan jenis, hutan dan pohon diteban secara liar, polusi udara semakin menjadi-jadi, yang pada akhirnya manusia jugalah yang menanggung akibatnya.
Untuk itulah, dalam Islam diajarkan berbagai metode untuk menjaga keseimbangan/keadilan di alam semesta tersebut. Pada saat berihram misalnya diajarkan agar jangan membunuh binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan, yang sesungguhnya merupakan pelajaran untuk menjaganya dalam kehidupan keseharian. Kisah seekor anjing yang diselamatkan oleh seseorang yang haus, kisah sarang semut yang dibakar oleh para sahabat, semua menunjukkan bahwa jauh sebelum organisasi hak-hak hewan tumbuh menjamur di bara, Islam telah memperlihatkan compassion dan cintanya yang tinggi kepada makhluk Allah yang lain. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:
"Akankah kita mendapat pahala karena menyelamatkan semut-semut itu? Beliau menjawab: "Pada semua makhluk hidup ada pahala yang dapat diraih".
Demikian uraian ringan tentang keadilan Islam, yang tidak saja menjadi keharusan bagi umatnya untuk ditegakkan tapi telah menjadi "fitrah Islam" itu sendiri. Artinya, berislam dan mengaku Muslim dan pada saat yang sama melakukan kezaliman-kezaliman, adalah sama kalau berislam secara tidak alami. Mungkin Islam itu adalah islam "kekuasaan" dan prestise semata, serta dengan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Maka tidak mengherankan, banyak penguasa mengaku beragama Islam bahkan menjalankan syariat Islam, tapi dalam menjalankan kekuasaannya jauh dari nilai-nilai keadilan. Di negara-negara yang justeru berpenduduk mayoritas Muslim, keadilan sedemikian direndahkan. Jika para elit melakukan penyelewengan maka seribu satu cara dilakukan sehingga terlepas dari jeratan hukum, sementara rakyat jelata yang terkadang karena keterpaksaan mencuri, maka tidak tanggung-tanggung ditegakkan keadilan. Dan ternyata, itu pula penyebab kehancuran bangsa tersebut. Kata Rasulullah:
"Sesungguhnya kaum sebelum kamu hancur, karena jika yang melakukan kesalahan adalah yang lemah maka hukum ditegakkan, namun jika yang melakukannya adalah para elit dan yang berkuasa, maka mereka dibiarkan saja"
Maka Rasulullah SAW ingin membuktikan dengan ucapannya:
"Kalaulah seandainya Fathimah, putri Muhammad, mencuri maka akan kupotong tangannya".
Inilah keadilan Islam, keadilan yang harus ditegakkan walau itu menyentuh langsung interest pribadi, keluarga, kerabat dan teman, serta mereka yang dianggap memiliki kelebihan-kelebihan status sosial. Keadilan Islam, sekali lagi, hanya mengenal satu "ukuran", yaitu ukuran kebenaran dan kesalahan.
Wallahu A'lam!
New York, 2 Juli 2002

0 komentar: