Senin, 15 Desember 2008

Dibalik Serban Hitam Putih Palestina

Dibalik Serban Hitam Putih Palestina
Publikasi: 29/03/2004 14:01 WIB
eramuslim - Belum juga genap tujuh hari Sheikh Ahmad Yasin, orang nomor satu dalam kelompok radikal Palestina, berpulang ke rahmatullah, hari ini aku lihat kembali sebuah pemandangan ‘baru’ lagi di halaman depan sebuah koran ternama ibu kota, ‘The Gulf News’. Khaled, bocah kecil berusia 7 tahun, ditembak mati oleh tentara Israel. Khaled, yang saat itu sedang bermain-main di dekat jendela di rumahnya di bilangan penampungan pengungsi West Bank, ditembus oleh peluru tentara yang menurut mereka ‘salah’ sasaran.
Bocah yang sudah tidak lagi bernyawa itu tengah mengalir darah segar dari mulutnya, lunglai dalam pelukan kedua tangan sang ayah Maher Walweel yang beteriak entah kepada siapa. Yang bisa saya baca, teriakan itu ditujukan kepada kebiadaban pendudukan ilegal Israel di negerinya. Direnggut buah hatinya, lelaki kecil yang tampan. Sementara nampak pula dalam gambar, Lina, sang Ibu, meraung, didampingi dua orang perempuan lainnya.
Sampai kapan kejadian serupa akan musnah dari bumi Palestina? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.
Esok hari sesudah Sheikh Yasin syahid, sekitar 40 warga kita berkumpul bersama dalam rangka pengajian dua mingguan, melaksanakan sholat jenazah bersama. Suatu bentuk yang bukan hanya ekspresi bahwa kami merasakan kehilangan salah satu saudara seiman, namun juga sebagai suatu bentuk solidaritas dari bangsa lain atas kesewenang-wenangan negeri lain yang pada akhirnya mengakibatkan derita rakyat Palestina dan pemimpin-pemimpinnya.
Sementara di Jakarta, lewat layar kaca saya lihat sejumlah warga kita juga tengah berdemonstrasi di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat yang tidak perlu dijelaskan kenapa ini terjadi. Di Pakistan, kejadian serupa juga berlangsung. Demikian pula di beberapa belahan bumi lainnya, seperti di Mesir, Inggris, Itali, Tanzania, Kenya, dan sudah tentu ‘negara’ tuan rumah, Palestina.
“Aku nggak bisa tidur memikirkan kejadian yang menimpa Sheikh Yasin!” kata seorang akhwat. “Kami juga sempat risau sejak terbunuhnya beliau” ungkap akhwat lainnya di Semarang yang saya terima lewat email. Bahkan ada akhwat yang bilang” Ehm…ana geram sekali. Kalau saja si Bush datang disini… akan ana juice…!” geramnya sambil mengepalkan tangannya yang kecil. Saya bahkan terima email ber-attachment tiga buah foto Sheikh Ahmad Yasin beberapa jam sesudah peristiwa pembunuhan itu yang memperlihatkan kepala beliau tinggal, maaf, separuh. Namun, subhanallah, bibir beliau tersenyum.
Pagi tadi, saya kedatangan seorang rekan asal Tunisia, Ala nama singkatnya, saya tanya: “Antum punya teman orang Palestina?” “Ya! Ada beberapa. Kenapa?” Katanya balik. “Bagaimana pendapatmu terhadap sikap mereka sepeninggalnya Sheikh Yasin?” kataku ingin tahu lebih lanjut. “Biasa-biasa saja!” jawab si Ala simple. Biasa? Tanyaku dalam hati. Wafatnya Sheikh Yasin, akibat kebiadaban si Tukang Jagal, Ariel Sharon, saya anggap bukan hal yang biasa!
Ada yang aneh diantara sikap orang-orang Arab ini. Saya pribadi memang tidak berharap akan terjadi perang ‘besar’ akibat pembunuhan terhadap Pemimpin Hamas ini. Akan tetapi saya juga berharap setidaknya ada ‘sedikit’ perubahan sikap mereka yang tinggal di Palestina dan sekitarnya. Setidaknya dari orang Palestina sendiri. Tidak harus lewat demonstrasi sebagaimana yang terjadi di Indonesia, Pakistan ataupun Afrika, tapi bisa saja dalam bentuk lainnnya, misalnya, kumpul bersama mendengarkan ceramah yang isinya tentang bagaimana Sheikh Yasin berjuang, atau pamflet-pamflet lah yang isinya mengutuk perbuatan Sharon.
Saya mencoba bandingkan dengan kejadian yang meskipun tidak mirip, misalnya gempa di Gujrat-India dua tahun lalu. Betapa besar perhatian orang-orang Asia Selatan terhadap gempa tersebut. Berbagai cara dilakukan guna membantu korban, mulai dari ceramah, berita di TV, koran, hingga pamflet-pamflet. Tidak hanya itu, beberapa pengusaha bahkan mengusahakan carter pesawat untuk misi humanitarian. Itu terjadi sepenuhnya di daratan Arab!
Namun, begitu yang kena giliran musibah saudara seiman kita, pemimpin besar Palestina, apa yang terjadi? Beritanya cuman besar di koran-koran. Tidak lebih dari itu. Kecuali teriakan kaum Hamas yang semakin keras ‘Allahu Akbar!’
Itulah yang membikin saya tidak habis berpikir. Ratusan ribu orang Palestina menyebar di negara-negara Timur Tengah. Mulai dari Kuwait, Qatar, UAE, Oman, hingga Saudi Arabia, nyaris tidak ada ‘suaranya’. Atau barangkali saya memang buta dan tuli terhadap segala tindak-tanduk mereka? Ingin aku garuk-garuk rasanya mata dan telinga ini, karena sejauh ini saya memang tidak melihat orang Palestina, yang nota bene negaranya sedang dijajah Israel menunjukkan ‘greget’ dimana sebagian warga kita di indonesia yang jauh dari Masjidil Aqsa, begitu menggebu-gebu bereaksi terhadap setiap melihat kebrutalan tentara Israel di ekspose media masa.
Ketika uneg-uneg ini saya kemukakan kepada Ala, dia hanya bisa bilang: “You are right. You are right!” Padahal saya dalam posisi yang tidak benar sama sekali. Hanya bisa ngomong, dan seperti yang anda semua baca sekarang ini. Hanya menulis. Titik!
“Siapa dia? Orang Palestina ya?” dengan nada agak kurang enak didengar telinga ini, pertanyaan serupa seringkali saya jumpai. Ada seorang rekan, sebuat saja si Fulan yang juga pernah ceritera kepada saya, bahwa dia sempat diperas oleh seorang warga Palestina. Begitu juga dengan persoalan bisnis, kalau sudah yang namanya bosnya dari Palestina, siap-siap saja sang buruh atau bawahan menarik diri dari tawaran kerja. “Kenapa sih?” tanyaku. Bos Palestina biasanya tidak bayar karyawannya tepat waktu. Demikian alasannya. Payah memang!
Pendeknya, apa yang ada di media masa yang membuat kita sedih atau prihatin, kadang tidak imbang dengan kenyataan sebagian besar yang dialami oleh banyak orang yang bergaul dengan warga Palestina di negara-negara Timur Tengah. Memang tidak semua orang-orang Palestina bersikap seperti si Fulan. Namun perbuatan-perbuatan seperti penipuan, pemerasan, atau tidak membayar gaji karyawan tepat waktu ataupun lainnya oleh mereka, yang bisa membuat orang lain sakit hati, nampaknya berpengaruh besar. Malah mengotori nama para pejuang Palestina.
Hal ini mengakibatkan orang-orang tidak lagi menaruh simpati besar terhadap bagaimana peran pejuang Palestina yang bertaruh nyawa guna merebut tanah dan kemerdekaannya. Apalagi kalau kita melihat para pemuda-pemudi Palestina yang suka hura-hura, main musik, berdansa, atau berhamburan di kota-kota besar di negara-negara Arab semacam Dubai, Yordan, atau Bahrain. Bisa jadi akan ‘menguap’ begitu saja simpati kita. Bahkan bisa berubah jadi ‘benci’.
Tapi bukankah kejadian yang sama bisa menimpa siapapun tanpa melihat latar belakang bangsanya? Apakah itu orang Indonesia, India, Kuwait, Saudi, Amerika hingga Eropa, mereka bisa bertindak seperti yang dilakukan Fulan diatas kan?
Kita memang sedang bergaul dengan manusia yang unik pola pikirnya. Kita sering kali mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atas dasar asal-usul. Sudah naluri manusia, apabila anak yang salah, pasti si nama si bapak terkait. ‘Anak polah, bapak kepradah’ kata orang Jawa. Padahal setiap manusia dewasa mestinya bertanggungjawab terhadap diri sendiri, tanpa harus mengikutsertakan orang lain sekalipun itu saudara atau orangtua nya. Tapi bagaimana kita bisa melepaskan dari problematika semacam ini?
Di Jakarta saja misalnya, masih sering kita dengar pembicaraan sehari-hari yang cenderung menggolong-golongkan suku. Si Fulan dari mana tuh? Batak ya? Jawa ya? Madura ya? Dan lain-lain. Cenderung diskriminatif.
Akibat yang terjadi, seperti yang menimpa nasib kaum Palestina. Saya kadang prihatin melihatnya. Begitu banyak warga PKS misalnya, yang perhatian terhadap nasib orang-orang Palestina. Nun jauh di Timur sana, orang-orang kita berteriak-teriak terhadap ketidakadilan yang menimpa muslim, bahkan sebagian warga Kristen ataupun Yahudi yang tinggal di bumi Palestina. Tapi kita yang ‘dekat’ sekali dengan Palestina justru tidak berbuat apa-apa. Jangankan mau bergabung dengan Hamas, saya pernah tanya kepada si Fulan, apakah dia tidak balik saja ke Palestina dan gabung dengan Hamas. Ternyata jawabannya “Ngapain aku harus gabung dengan Hamas? Si Yasir Arafat juga tidak becus!” Jawabannya ringan. Astaghfurullah!
Kalau sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari kita yang nyata-nyata orang luar? “Kasihan para pejuang Palestina...!” Begitu gumam saya terhadap diri sendiri.
Islam memang datang dari tanah Arab. Tapi jangan sangka bahwa Palestina yang didalamnya ada Masjidil Aqsa lantas dihuni oleh orang-orang yang akrab dengan sholat dan lautan jilbab. Seperti halnya di negeri kita, orang Palestina pun, ditengah derita yang berkepanjangan ini tidak secara otomatis membuat mereka lantas ber-tirakat, mengikat kuat persaudaraan sesama umat. Itulah dilemanya.
Saya tidak bermaksud mendiagnosa. Sebelas tahun di negeri Arab, hanya sekali saya melihat, katakanlah semacam demonstrasi tanpa yel-yel yang aman, di Sharjah yang dikoordinasi oleh mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri sana. Tapi mereka mewakili beberapa negara. Tidak didominasi oleh orang Palestina.
The Gulf News pagi ini juga mengungkap ceritera lainnya.
Tahu nggak dari mana semen yang digunakana untuk membangun tembok panjang pemisah Israel-Palestina di West Bank? Menurut Abdel Kader Yassin, seorang peneliti asal Palestina yang tinggal di Cairo-Mesir, kepada harian tersebut, mulanya Israel meminta perusahaan semen di Mesir untuk menjual semenya ke Israel. Nampaknya perusahaan semen Mesir menolak. Cerdiknya Israel, kata harian tertanggal 28 Maret 2004 itu, kemudian mencari seorang mediator Palestina guna meng-cover seluruh operasi jual beli itu. Caranya? Seseorang dari Partai Likud telah berusaha untuk meyakinkan Gamil Al Torify, Menteri Pekerjaan Umum Palestina, untuk mengimpor semen dari Mesir seolah-oleh untuk kebutuhan pembangunan di Palestina. Padahal guna pembangunan tembok Zionis itu!
Dari uraian tersebut diatas, makanya jangan kaget bila antek-antek Sharon sampai tahu dimana Sheikh Ahmad Yassin tinggal, masjid mana beliau biasa sholat, dan kapan waktunya. Barangkali karena didalam negeri Palestina sendiri sudah terlalu banyak mata-mata. Orang Palestina kah atau Israel mereka? Apakah Mesir yang cerdik, Israel yang licik, atau Palestina sendiri yang pelik? Wallahu’alam!
Satu hal lagi yang mengagetkan saya ketika membaca Majalah Rohani Populer (Krisren), BAHANA, edisi XXXXV, Februari 2004. Majalah tersebut menulis satu berita menarik tentang usaha mengkristenkan Presiden Palestina Yasser Arafat (lihat: www.bahana-magazine.com). Diceritakan, seorang Pengajar Injil bernama R.T. Kendall, bertemu untuk kedua kalinya dengan Yasser Arafat di kediamannya di Ramallah. "Ra’is (sebutan presiden dalam bahasa Arab),” kata Kendall, “Saya ingin mengatakan sesuatu untuk direnungkan. Ada yang mengatakan pada saya bahwa Yesus Kristus sangat berkesan bagi Anda." Arafat segera menjawab, "Oh ya, sangat, sangat penting." Dan seterusnya.....
Terlepas dari kebenaran berita tersebut, isinya bikin saya jadi heran. Koq bisa-bisanya, ditengah-tengah repotnya mengurusi bangsa yang lagi dilanda peperangan dan keprihatinan, sang Presiden bisa menerima tamu yang misinya, astaghfirullah, kristenisasi?
Tapi itulah! Perjuangan rakyat Palestina nampaknya tidak sesingkat yang kita duga dan bayangkan. Ada banyak tugas-tugas berat yang diemban oleh mereka, rakyatnya. Sementara saya, kita? Kayaknya harus ‘puas’ hanya jadi penonton saja. Layaknya filmnya si Dono, ‘mundur kena, maju kena’. Tidak membela kaum Palestina ini tidak pantas karena kita sesama muslim. Tapi mau ikut ‘berjuang’, nyatanya sebagian dari mereka malah bekerja sama ‘membangun’ dinding pemisah Israel-Palestina. Bahkan, Presiden Yasser Arafat sendiri meminta rakyat Palestina untuk ‘menahan diri’ sesudah terbunuhnya Sheikh Ahmad Yassin.
Mungkin himbauan Yasser Arafat ada benarnya. Tapi bagaimana cara menahan diri sekiranya orangtuanya si bocah kecil Khaled diatas adalah anda?
SyaifoelHardy
shardy@emirates.net.ae

0 komentar: